Pengantar Redaksi
Menandai peringatan Hari Kemerdekaan RI, Desk Opini ”Kompas”
bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada 15 Mei 2012
menyelenggarakan diskusi panel seri II/2012 di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).
Mengambil tema ”Konstitusi dan Negara Kesejahteraan: Pendidikan yang
Memerdekakan”, diskusi menampilkan pembicara Jalaluddin Rakhmat (Yayasan
Muthahari), Elin Driana (Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka), dan H
Soedijarto (Universitas Negeri Jakarta), dipandu oleh Daniel Adipranata. Hasil
diskusi yang dirangkum oleh Chris Panggabean dan Daniel Adipranata dari LMI
serta wartawan ”Kompas” Kenedi Nurhan, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari
ini.
Pendidikan harus memerdekakan dan membebaskan rakyat dari
belenggu kebodohan. Pendidikan nasional bukan untuk kepentingan politik,
golongan, atau agama, melainkan untuk membangun bangsa.
Masyarakat dunia sesudah Perang Dunia II dilandasi
peradaban, yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana, berciri modern, rasional,
berdasarkan kemajuan ilmu, teknologi, dan menekankan hak-hak manusia. Namun,
menurut Djojonegoro, pada tahun 1940, rakyat Indonesia yang mengenyam
pendidikan dasar sangat sedikit, bahkan mahasiswa hanya 157 orang (Lima Puluh
Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, 1996).
Akhirnya, para pendiri Republik yang menjadi cerdas karena
pendidikan sekolah menetapkan tujuan kemerdekaan sebagai mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Mereka yang menganut moto ”membangun
bangsa, membangun sekolah” itu menetapkan kewajiban pemerintah sebagai
”mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional” (Pasal 31
Undang-Undang Dasar 1945).
Mencerdaskan rakyat
Sering ”mencerdaskan kehidupan bangsa” dimaknai sebagai
memperluas kesempatan memperoleh pendidikan apa pun mutunya. Saat ini, memang
kesempatan memperoleh pendidikan tingkat SD sudah berada di atas 96 persen,
tingkat SMP hampir 70 persen serta perguruan tinggi di atas 10 persen. Namun,
kehidupan bangsa yang cerdas sesungguhnya belum terwujud. Lembaga pendidikan
kita masih dengan gedung sekolah tanpa laboratorium, tanpa buku, tanpa lapangan
olahraga, dengan guru yang kurang terjamin kesejahteraannya.
Hakikat mencerdaskan kehidupan bangsa adalah gerakan
transformasi budaya dari tradisional dan feodalistik menjadi modern, rasional,
demokratis, dan berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Semangat ”ada hari ada nasi” harus berubah menjadi rawe-rawe
rantas, malang-malang putung. Perlu transformasi budaya bagi perubahan sikap
hidup: dari menerima nasib menjadi manusia yang memiliki jati diri dalam
menghadapi tantangan. Untuk itu, sekolah harus menjadi pusat pembudayaan warga
negara yang bermoral, beretos kerja, berdisiplin, produktif, demokratis, dan
bertanggung jawab.
Persoalan besar yang sedang kita hadapi sekarang adalah
hilangnya roh pendidikan nasional. Dengan sadar kita meninggalkan tujuan
pendidikan seperti yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara, pendiri Perguruan
Tamansiswa, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang
Pokok-pokok Pengajaran di Sekolah. Di situ, siswa dilihat sebagai makhluk
sosial.
Tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan insan mandiri
yang tidak bergantung pada orang lain, tetapi juga tidak menjadi individualis,
insan yang dapat mengatur diri sendiri dalam rangka hidup bersama. Idealnya,
pendidikan bersifat membebaskan dan memberdayakan.
Pendidikan terpisah dari rakyat
Rakyat sebagai pemilik negeri semakin susah mendapatkan
pendidikan bermutu. Pendidikan kita semakin menciptakan segregasi sosial
(pengotak-kotakan masyarakat) berdasarkan kemampuan ekonomi dan agama. Sekolah
negeri yang seharusnya sekolah kebangsaan semakin terpenjara oleh berbagai
kepentingan non-pendidikan.
WS Rendra mengungkapkan kegelisahannya tentang pendidikan
yang semakin terpisah dari kenyataan hidup rakyat. Apa gunanya pendidikan bila
hanya membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Apa
gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di Ibu
Kota, kikuk pulang ke daerahnya? (Sajak Seonggok Jagung, 1975)
Tak kalah memprihatinkannya, praktik pungutan untuk
mengikuti pendidikan wajib belajar masih berlangsung, meski tersurat dalam konstitusi
”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”. Pemerintah pun secara sadar tidak melaksanakan ketentuan Pasal
31 Ayat 2, tetapi hanya membantu melalui program yang dikenal dengan bantuan
operasional sekolah (BOS).
Padahal, bersama ketentuan Ayat 4 yang mewajibkan negara
untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), serta ketentuan Ayat 5 yang mewajibkan pemerintah untuk
memajukan iptek, tujuan akhirnya adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara
kesejahteraan dengan rakyat yang cerdas. Pendidikan untuk semua lapisan
masyarakat.
Di samping dimensi pembiayaan, yang tidak kalah pentingnya
adalah manajemen penyelenggaraan pendidikan. Di hampir semua negara kesatuan,
seperti Perancis, Inggris, atau Jepang, penyelenggaraan pendidikan tidak
sepenuhnya terdesentralisasi. Perancis adalah negara kesatuan yang tidak
mengenal desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Inggris, sejak Perdana
Menteri Margaret Thatcher mengurangi otonomi penyelenggaraan pendidikan,
terutama yang terkait kurikulum, karena mutu pendidikan justru merosot akibat
desentralisasi.
Sejak UU Pemerintahan Daerah tahun 1999 berlaku, otonomi
penyelenggaraan pendidikan diberikan kepada pemerintah tingkat kabupaten. Dunia
pendidikan pun tercemari kepentingan politik sesaat. Bahkan, ada cerita nyata,
karena sang bupati tidak suka dengan kepala SMA di suatu kota, kepala sekolah
itu dipindahkan menjadi guru TK di daerah terpencil.
Rakyat bertindak
Apa yang salah dengan pendidikan kita? Mengapa setelah
hampir 70 tahun merdeka, kualitas pendidikan kita belum maju, dan bahkan
tertinggal dari negara-negara di sekitar kita? Para pendiri Republik mungkin
menangis melihat sebagian besar rakyat Indonesia yang belum cerdas.
Visi mulia pendidikan dalam konstitusi seperti kata-kata
kosong makna, hanya menjadi bumbu retorika politik para penguasa menjelang
pemilu. Visi pendidikan diperdebatkan dan menjadi bahan diskusi, tetapi tidak
mengubah dan menghidupi apa pun. Kebijakan sistem pendidikan, kurikulum
nasional, dan peraturan perundang-undangan berubah-ubah tanpa arah karena
selalu tersandera oleh berbagai kepentingan non-pendidikan. Dan, akhirnya
rakyat tetap menjadi obyek pendidikan bukan subyek.
Memang menagih janji pendidikan untuk rakyat bersenjatakan
konstitusi tidaklah cukup. Kita tidak bisa hanya berpangku tangan dan
menantikan kemauan politik pemerintah untuk memajukan pendidikan.
Organisasi guru yang independen dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek penguasa perlu ditumbuhkembangkan dan diperkuat. Komunitas-komunitas pendidikan harus terus bersuara tanpa kenal lelah, mendesak dan menanamkan berbagai kebijakan pendidikan untuk rakyat dalam sistem demokrasi dan ketatanegaraan saat ini.
(Daniel Adipranata)