Jumat, 19 September 2008

Moralitas Publik (Yonky Karman)



Sabtu, 20 September 2008 | 00:33 WIB

Oleh Yonky Karman

”The criminal law has served better to punish the crimes of citizens than the crimes of government against citizens.” (Dennis F. Thompson, Political Ethics and Public Office, 66)

Beberapa tahun terakhir korupsi diperlakukan sebagai kejahatan luar biasa dan sejumlah koruptor dijerat hukum. Sebelumnya, korupsi sulit diberantas. Sistem hukum lama tak mampu menjerat pejabat publik yang ditengarai terlibat skandal keuangan.

Negara sulit menghukum pejabat, tetapi mudah menghukum rakyat. Padahal, yang dikorupsi adalah uang rakyat. Tiada efek jera bagi pejabat yang melihat uang negara sebagai obyek untuk dijarah. Pengeluaran negara dibuat jauh lebih besar daripada seharusnya. Penerimaan negara dibuat jauh lebih kecil daripada seharusnya. Politik anggaran penuh rekayasa.

Kehormatan institusi

Dalam rezim otoriter, hukum didesain lebih untuk rakyat daripada untuk penguasa. Hukum ditujukan kepada kasus pelanggaran warga dan tidak disiapkan untuk menghadapi kejahatan terstruktur yang melibatkan pejabat. Saat ada terobosan dalam peradilan dan pejabat menjadi tersangka korupsi, penegak hukum gamang. Kehormatan institusi bisa tercoreng. Maka, tersangka akhirnya bebas dengan dalih bukti tidak cukup. Uang negara gagal diselamatkan.

Ketika pemerintah mengatur mekanisme untuk menghukum diri sendiri (diwakili pejabat terkait), keadilan menjadi bias. Pemerintahan korup berkepentingan dengan sistem hukum yang lemah agar sesedikit mungkin pejabat terjerat hukum untuk menjaga kehormatan institusi. Semakin tinggi jabatan atau dekat lingkaran kekuasaan, semakin banyak alasan untuk melindunginya dari jerat hukum.

Kendati suatu kebijakan publik terbukti keliru, pejabat terkait tidak dikriminalkan. Kebijakan keliru dianggap produk kelembagaan, bukan produk individu. Pejabat bertindak sebagai otoritas publik dan lolos dari jerat hukum meski keuangan negara amat dirugikan. Daripada mengabdi untuk kehormatan institusi, pejabat korup berlindung di balik kehormatan itu dan melakukan kolusi lintas institusional.

Kendati selalu ada kemauan politik untuk menghukum pejabat yang salah, dalam praktiknya pemerintah cenderung defensif. Pejabat kerap berkelit jika dikatakan korupsi mewabah nyaris di semua institusi negara. Yang disalahkan selalu oknum. Tiap penyimpangan dikembalikan kepada kesalahan pribadi, kelemahan nurani yang bersangkutan. Padahal, yang terjadi adalah penyimpangan korps. Semangat koruptif korps. Nurani korps bermasalah.

Di kantor-kantor layanan administrasi publik, warga yang taat aturan terpaksa menunggu lama untuk dilayani dibandingkan mereka yang menggunakan jasa calo. Sudah biasa calo bebas masuk-keluar ruang petugas. Mustahil prosedur seperti itu hanya inisiatif satu dua petugas di loket tanpa dukungan korps. Itu sebabnya Rancangan Undang-Undang Layanan Publik mendesak untuk disahkan.

Perang melawan korupsi tidak cukup hanya dicanangkan, tetapi harus menular di level pejabat struktural. Administrasi layanan publik sarat pungutan liar. Inspeksi mendadak selalu diperlukan untuk menimbulkan efek jera, terutama bagi kepala kantor yang dengan sengaja membiarkan praktik koruptif merajalela. Indonesia belum belajar dari negeri tetangga yang dipercaya para investor dan menjadi kaya karena tertib administrasinya.

Negeri kaya sumber daya alam macam Indonesia tak kunjung kaya. Negara dirugikan oleh kleptokrasi. Oknum birokrasi dengan mudah melakukan pungutan ilegal. Yang tidak tunduk dipersulit. Rakyat kecil harus membayar segala macam layanan publik yang mestinya gratis atau murah. Tertib bernegara ditentukan oleh kekuatan uang, bukan oleh tata kelola pemerintahan.

Darurat moralitas

Kasus korupsi yang melibatkan pejabat di lingkungan eksekutif-legislatif-yudikatif menunjukkan lemahnya disiplin anggaran dan tata kelola pemerintahan. Pejabat lebih merasa berutang kepada (oligarki) partai, bukan kepada rakyat. Kepentingan asing pun bermain dalam proses legislasi yang akhirnya mengorbankan kesejahteraan rakyat. Pejabat terjebak hiruk-pikuk demokrasi yang tak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat.

Pelayan publik mengabdi demi uang, bukan untuk kepentingan publik. Pengabdian mendua itu menghasilkan perilaku koruptif. Darurat moralitas publik. Solusinya bukan menjadikan negara sebagai polisi moral bagi warga, tetapi rakyat terus menekan birokrasi agar mentalitas koruptif terkikis. Jika perang melawan korupsi dilakukan dengan semangat jihad, niscaya Indonesia melesat maju meninggalkan banyak negeri lain sekawasan.

Rakyat sering terjebak dengan keberagamaan lahiriah pejabat. Padahal, substansi keberagamaan pejabat adalah integritas moralnya. Kesalehan publiknya. Kecintaannya kepada rakyat. Pengabdiannya tanpa pamrih. Berhadapan dengan jerat korporasi yang bersandar pada mekanisme pasar dan hukum-hukum impersonal, negara mestinya berperan sebagai regulator, tidak ikut-ikutan memakai bahasa pasar berhadapan dengan rakyat.

Harga jual gas kita kepada asing dalam kerangka kontrak bisnis jangka panjang masih lebih murah dibandingkan harga gas subsidi di dalam negeri. Namun, pemerintah membiarkan harga jual di dalam negeri berlaku sesuai mekanisme pasar. Rakyat kecil menjerit dengan harga gas yang cenderung naik dan pontang-panting menghadapi kelangkaan. Mudahnya pejabat kita mengingkari kontrak sosial dengan rakyat (baca: konstitusi).

Di negara demokrasi yang kuat penegakan hukumnya, (calon) pejabat mudah membuat pengakuan salah di depan publik. Meski dikenal sebagai negeri yang lemah penegakan hukumnya, jarang sekali pejabat kita mengaku salah. Makin tinggi posisi, makin sulit mengaku salah. Citra publik di atas moralitas publik. Kesenjangan antara moralitas individual dan moralitas publik.

Banyak yang tidak beres dengan penyelenggaraan negara, tetapi terlalu sedikit pejabat yang mengaku salah atau dikenai sanksi berat. Ketidakberesan ditutupi kebohongan publik. Ketidakberesan terus berlangsung karena ketidaktegasan atasan dan lemahnya kontrol dari atas. Reformasi birokrasi jalan di tempat. Krisis ekonomi berlanjut dan kini menggerogoti pranata sosial. Figur publik membanjir di tengah kelangkaan moralitas publik.

Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Kamis, 18 September 2008

Prosedur Keadilan bagi Korban Lumpur Sidoarjo

 

Sejak jaman Yunani kuno hingga kini, keadilan selalu menjadi masalah manusia. Apa itu adil? Bagaimana mencapai keadilan? Apakah sama rata sama rasa adalah resep keadilan yang bisa dipertanggungjawabkan?  

Mengutip pernyataan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Andang Bachtiar, mud vulcano di Sidoarjo dipicu oleh kesalahan teknis di Sumur Banjar Panji 1 (Kompas 6/9). Maka bencana lumpur itu tak bisa disetarakan sebagai hanya bencana alam biasa yang diterima sebagai kehendak ilahi seperti bencana di Aceh dan Yogya. Bencana itu dipicu kesalahan manusia, yang menyebabkan kerugian yang sangat besar kepada penduduk Sidoarjo. Penduduk menjadi korban dari kecerobohan perusahaan Lapindo. Karena itu, keadilan harus ditegakkan bagi korban. Dan untuk itu, prosedur mencapai keadilan perlu diperhatikan (John Rawls, rev., A Theory of Justice, 1999).

 

Keadilan sebagai fairness

Dalam pemahaman Rawls,  isi keadilan tidak a priori. Keadilan adalah hasil suatu pemufakatan (konsensus). Karena itu, Rawls mengembangkan suatu prosedur keadilan. Inti pertanyaan bukan “apa itu adil” tetapi “bagaimana mencari keadilan dalam kesepakatan yang fair.”

            Ada dua pokok gagasan tentang  keadilan sebagai fairness. Pertama, ‘setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang” . Prinsip ini didasarkan kesamaan manusia sebagai person bermoral.  Atau dapat juga disebut sebagai prinsip kebebasan setiap pribadi.

            Prinsip ini bertentangan dengan konsep utilitarianisme (adil adalah manfaat sebesar mungkin untuk sebanyak mungkin orang) yang banyak diikuti orang. Menurut Rawls, utilitarianisme gagal menjamin keadilan sosial karena lebih mendahulukan asas manfaat daripada asas hak dan juga berpotensi mengorbankan mereka yang paling lemah. 

            Namun, prinsip kebebasan dan kesamaan ini bukanlah kesamaan yang kaku. Kesamaan dalam pandangan Rawls hanya berlaku prima facie,  jika tidak kondisi atau prioritas lain yang ‘mengalahkan’nya.  Oleh karena itu muncul prinsip keadilan kedua, yang lebih didasari oleh perbedaan

            Prinsip kedua mengatakan bahwa “ ketidaksamaan sosial dan ekonomis harus diatur sedemikian rupa sehingga  (a) secara rasional diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang”. Prinsip ini dapat disebut ‘the priority of justice over efficiency and welfare”,  Prinsip  kedua ini menempatkan perbedaan dalam konteks komunitas bersama.

            Melalui dua prinsip tersebut, Rawls menegaskan bahwa kekuatan dari keadilan dalam arti fairness justru terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada kebebasan.

 

Kembali Ke Posisi Asali

Ada suatu syarat penting untuk mencapai proses itu, yaitu setiap pribadi yang terlibat perlu kembali ke posisi asali (original position). Artinya, setiap orang atau kelompok masyarakat yang terlibat dalam ‘pembicaraan kontrak’ untuk mencapai keadilan, haruslah menempatkan diri dalam kemanusiaannya yang lepas dari segala atribut dan kepentingannya. Rawls sangat percaya bahwa manusia memiliki kemampuan  ‘a sense of justice and a sense of good’ .

            Kemampuan moral ini, ketika ditempatkan dalam konteks bermufakat maka akan menguatkan kedudukan setiap individu sebagai person moral  yang rasional, bebas dan sama.

 

Menerapkan teori

Ada beberapa prinsip dasar teori keadilan John Rawls yang dapat kita terapkan dalam kasus korban lumpur Sidoarjo.

            Keadilan sebagai suatu konsensus. Keadilan tidak dapat diterapkan secara sepihak, menurut pemahaman sepihak tentang apa itu adil.  Keengganan untuk berdialog merupakan musuh dari keadilan.

            Memanusiawikan Korban. Mereka bukanlah sekedar alat untuk mencapai tujuan. Korban lumpur Sidoarjo adalah makhluk  bermoral yang rasional, bebas dan memiliki rasa keadilan yang adalah pemberian Allah. Rawls memiliki optimisme ketika semua pihak bersedia untuk ‘membutakan diri’ dari kepentingan diri dan kelompok, disitulah akan menjadi titik awal tercapainya konsensus yang adil.

            Menghargai persamaan dan perbedaan.  Konsep sama rata sama rasa tidak akan menjamin keadilan, dan justru menimbulkan ketidakadilan. Pemberian uang kontrak atau kompensasi dan relokasi korban, harus memperhitungkan perbedaan.

            Ketidakraguan dalam penanganan.  Bencana ini memiliki dampak sosial dan ekonomi yang sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan ketegasan sikap pemerintah untuk melindungi rakyat yang terkorbankan dan juga tegas dalam meminta pertanggungjawaban PT Lapindo.

            Terakhir, harapan kita bersama di negeri ini “biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir’ (Nabi Amos).

 

Daniel Adipranata

Undang-undang yang Porno?


Pada tahun 2006 sebuah Panitia Khusus DPR menyiapkan teks RUU Antipornografi dan Antipornoaksi. RUU itu menimbulkan kontroversi di masyarakat, akhirnya menghilang dari peredaran.

Kini kita dikagetkan bukan hanya oleh sebuah RUU Antipornografi baru, tetapi oleh berita bahwa RUU itu, dengan memanfaatkan bulan Ramadhan, mau cepat-cepat disahkan dengan menghindar dari debat publik. Bak maling memanfaatkan terang remang-remang. Apa mereka tidak tahu malu?

Dengan tepat pernah ditegaskan filsuf Immanuel Kant, setiap kebijakan politik yang takut mata publik adalah kotor. Mengesahkan RUU antiporno dengan menghindar dari sorotan publik adalah politik porno sendiri!

Lebih gawat lagi, dalam beberapa media, RUU itu disebut ”hadiah Ramadhan”. Menghubungkan sebuah undang-undang yang kontroversi dengan bulan suci Ramadhan yang ingin kita hormati, tak lain adalah sebuah pemerasan, sebuah ancaman tersembunyi.

Orang yang berani menyuarakan kritiknya disindir kurang menghormati bulan suci Ramadhan! Dan kita tahu nasib orang yang dicap kurang menghormati unsur agama di negara ini. Sindiran ini sebuah cara amat keji untuk membungkam kebebasan menyatakan pendapat!

Debat publik dulu

Tentang apakah kita perlu sebuah UU khusus untuk memberantas pornografi—yang kita sepakati sedang merajalela dan memang perlu diberantas—bisa ada perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan, semua sarana hukum untuk memberantas pornografi sudah tersedia; jadi buat apa sebuah UU khusus? Dan ada yang berpendapat, hanya dengan sebuah UU khusus pornografi bisa betul-betul diberantas.

Akhirnya DPR harus memutuskan hal ini, dengan keputusan mayoritas. Tetapi, dan itu yang menentukan, sebelum publik diberi kesempatan membahas RUU itu secara bebas dan terbuka.

Mengingat RUU itu bukan tentang kebijakan politik biasa, tetapi menyangkut kehidupan dan cara kerja sehari-hari masyarakat. Tak bisa sebagian masyarakat menentukan bagaimana semua harus membawa diri. Semua berhak menyatakan pendapat. Semua wajib didengar dulu sebelum akhirnya diambil keputusan.

Karena itu harus dituntut bahwa RUU Antipornografi dibuka kepada publik lebih dulu, baru diambil keputusan. Dari yang sekarang saja diketahui, ada beberapa kekurangan yang perlu pembahasan. Definisi ”pornografi” tetap kabur (memang sulit, tetapi justru karena itu definisi tidak boleh sepihak), kurang dibedakan antara orang di bawah umur dan orang dewasa (cukup serius itu), serta, amat mengkhawatirkan, ada anjuran tak langsung agar masyarakat mengambil hukum dalam tangannya sendiri (apa kita mau membongkar sendiri negara hukum dan menyerahkan negara kita ke tangan laskar-laskar vigilantes?)

Maka, sekali lagi, menghindar dari debat publik atas suatu rencana undang-undang yang begitu peka, yang dalam bahaya melanggar keutuhan asasi orang di Indonesia, akan merupakan tindakan tidak etis. Jangan kita mau memberantas pornografi dengan politik yang porno sendiri.

Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

SUMBER: Kompas, Rabu, 17 September 2008 |


Benteng Terakhir Intelektual Republik



Dalam kurun serba uang dan kedudukan seperti sekarang, ada pertanyaan yang mendesak diajukan. Di manakah benteng terakhir asketisme intelektual kita?

Ketika para intelektual merayap keluar dari ruang-ruang akademik dan mengabdi pada uang dan kedudukan, di manakah semangat artes liberal yang diabdikan pada kebaruan dan wawasan? Saat kepentingan intelektual sebangun dengan kepentingan pemodal dan politikus, di manakah integritas akademik bercokol?

Surplus

Satu hal yang patut menjadi kebanggaan kita, republik ini tak pernah kekurangan intelektual. Dalam satu tahun saja, ribuan master dan doktor dihasilkan. Sebagian melalui jalur universitas, sebagian lain melalui jalur partikelir. Berbagai lembaga donor asing berlomba membiayai para calon intelektual republik. Ada yang jelas-jelas berkepentingan, ada juga yang bersembunyi di balik agenda peradaban. Apa pun, kita patut bersyukur.

Masalahnya, di manakah para intelektual mengabdi setelahnya. Universitas terbatas, sementara pasokan intelektual muda terus bertambah. Belum lagi birokrasi perekrutan yang formalistik dan konservatisme berdosis tinggi di universitas. Kementerian pun demikian. Doktor-doktor baru pulang untuk mendapati pekerjaan administrasi belaka. Tak ada laboratorium canggih untuk mereka mengembangkan ilmu.

Yang tinggal adalah lembaga- lembaga penelitian partikelir yang tersebar di pelosok republik. Sebagian didanai pemodal dan sebagian lain politikus. Lembaga- lembaga ini menarik. Sebab selain gaji yang memadai, para intelektual juga mendapat prestise tersendiri. Mengapa demikian? Sebab lembaga-lembaga penelitian adalah tangki pemikir (think- tank) yang mendekatkan intelektual pada yang kuasa.

Para akademisi pun kini menjadi agen ganda. Universitas yang tidak menjanjikan secara ekonomi membuat mereka cari makan di luar. Masalahnya, mereka tidak mau melepaskan status sivitas akademika-nya. Bagi mereka, apa yang mereka lakukan adalah satu dari tiga darma perguruan tinggi: pengabdian masyarakat. Namun, apa jadinya saat pengabdian masyarakat menumpulkan dua darma lain. Riset pun menyurut dan pengajaran menjadi ala kadarnya. Di mana letak tanggung jawab mereka sebagai sivitas akademika, komunitas akademik yang beralas pada kreasi bukan komodifikasi pengetahuan.

Intelektualitas dan kekuasaan

Ribuan tahun lalu Plato mengingatkan, intelektualitas sebangun dengan kekuasaan. Sebab, intelektualitas adalah kebijakan tertinggi yang akan mengatur nafsu-nafsu rendah. Namun apa jadinya saat intelektualitas menyatu baku dengan nafsu-nafsu rendah itu? Alih-alih menjadi komando bagi nafsu uang dan kedudukan, para intelektual mengabdi pada keduanya.

Alibi para intelektual tukang saat ini mungkin masuk akal. Kami bergabung untuk memberi warna humanis pada uang dan kedudukan. Berkat kami, kini uang dan kedudukan menjadi santun dan berperikemanusiaan. Naif dan mudah dibatalkan. Apa yang kita saksikan kini adalah intelektual yang memberi justifikasi ilmiah pada kejahatan yang dilakukan pemodal. Saksi-saksi ahli adalah intelektual bermuka tebal. Mereka rela mengorbankan integritas keilmuan demi ketebalan kantong belaka.

Saya tiba-tiba terkenang filsuf Perancis, Michel Foucault. Dia mengingatkan, jangan terlalu naif memandang pengetahuan. Alih- alih berhadapan, pengetahuan dewasa ini berkelindan dengan kekuasaan. Pengetahuan adalah kekuasaan. Putusan pengadilan pun memihak saat sang intelektual berfatwa, ”itu adalah kejadian alam bukan kelalaian!”. Artinya, pengetahuan bukan muatan kepala orang per orang. Itu sudah menjadi institusi yang mendikte perilaku, perasaan, dan kesadaran semua orang.

Universitas

Universitas adalah universum ilmu-ilmu, sebuah artes liberal yang membaktikan diri pada kreasi dan transfer pengetahuan. Para intelektual universitas adalah hulubalang tri darma perguruan tinggi. Pertama, meneliti untuk mencipta pengetahuan. Kedua, mengajarkan pengetahuan itu. Ketiga, memanfaatkan pengetahuan baru untuk kemaslahatan bersama.

Sekelompok peneliti IPB yang meneliti adanya bakteri pada susu kaleng tahu persis darma mereka. Mereka tidak menghamba pabrik susu atau Departemen Kesehatan. Mereka menghamba pada kebenaran dan integritas akademik. Mereka tahu, apa yang mereka temukan harus dibagikan untuk kepentingan publik, juga saat mereka menjadi bulan-bulanan kekuasaan.

Universitas bukan pemasok tukang, tetapi pengetahuan. Seorang sahabat mengatakan, pengetahuan bukan komoditas. Pengetahuan bertambah saat dibagikan. Pengetahuan berkembang lewat persentuhan. Saat pengetahuan dijual demi uang dan kedudukan, watak pengetahuan semacam itu pupus. Pengetahuan tak ubahnya barang dagangan di toko kelontong.

Watak nontransaksi dari pengetahuan harus dirawat universitas sebagai semesta ilmu-ilmu. Para intelektual universitas bekerja dua puluh empat jam setiap hari untuk menemukan pengetahuan dan membagikannya. Untuk itu mereka layak dibayar tinggi sehingga mereka tidak lagi membuka warung pengetahuan di luar. Mereka tidak lagi tergiur uang dan kedudukan. Mereka bangga dengan statusnya sebagai warga sebuah sivitas akademika.

Universitas adalah benteng terakhir asketisme intelektual. Saat tangki-tangki pemikir bernoda uang dan kedudukan bertumbuhan di sana sini, universitas harus menumbuhkan tangki-tangki pemikir yang mengabdi kemaslahatan bersama, bukan pribadi atau golongan. Infiltrasi kepentingan harus dibersihkan dari tiap pojok akademik universitas.

Untuk itu, universitas harus membuka pintu lebar-lebar bagi intelektual independen, mereka yang beraspirasi pada integritas ilmu pengetahuan dan kemaslahatan bersama. Sebab, merekalah para penjaga benteng sebenarnya. Namun, sekali lagi, intelektual yang tidak mudah dibeli justru mahal harganya. Karena itu, segalanya harus dimulai dari elitisme. Para intelektual independen ditampung dalam aneka kelompok peneliti khusus. Tugas mereka ada tiga: meneliti, mengajar, dan mengabdi pada kemaslahatan bersama. Tak lebih.

Kecendekiawanan adalah sebuah panggilan, sebuah laku suci untuk menapak di tanah tak bertuan. Membuka rahasia semesta dan membocorkannya secara sederhana demi kemaslahatan bersama. Karena itu, bagi mereka yang berpisah jalan hanya ada satu pesan. Kembalilah ke jalan yang benar, jalan kecendekiawanan, jalan artes liberal. Universitas, benteng kita bersama.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI; Pendapat Pribadi

Sumber: Kompas, Rabu, 17 September 2008 | 00:25 WIB

Kita Rupanya Belum Merdeka



Pengantar Redaksi:

Menyambut HUT Ke-63 Republik Indonesia, tanggal 12 Agustus lalu Redaksi Opini Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) menyelenggarakan diskusi panel bertajuk ”Republik Kaum Muda: Hak Asasi sebagai Parameter Imperatif Kemerdekaan”. Tampil enam pembicara: Butet Manurung (guru di sekolah anak rimba), Agung Putri (Elsam), Asfinawati (LBH Jakarta), Chalid Muhammad (Walhi), Nia Dinata (sutradara film), dan Revrisond Baswir (ekonom UGM), dipandu oleh Sri Palupi. Berikut dua laporan hasil diskusi, masing-masing dimuat di halaman ini dan halaman 47.

Ketegangan antara pemerintah dan rakyat dalam perjuangan akan dan pembelaan hak asasi manusia maupun hak kelompok masyarakat, terutama sejak pertengahan masa Soeharto yang menamakan diri Orde Baru, barangkali dipandang lebih sebagai bagian yang inheren dari perjuangan demokratisasi (konstitusional) untuk menggantikan sistem pemerintahan Soeharto yang otoriter.

Oleh Salomo Simanungkalit

Semakin jelas terlihat, ikhtiar tersebut sepantar dengan perjuangan merebut kemerdekaan pada tingkap individu dan tingkap komunitas dari fakta bahwa hingga pada masa Reformasi ini pun, upaya memenuhi hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya di negeri ini masih berlangsung dengan intensitas yang kurang lebih sama belaka.

Hak individu dan hak komunitas masih terus hendak direbut bahkan hingga Proklamasi Kemerdekaan berusia 63 tahun, katakanlah melalui gugatan baik terhadap developmentalisme maupun neoliberalisme pasar. Tafsir waktu manakah yang dipakai untuk memaknai ”dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” pada teks Proklamasi Kemerdekaan itu untuk membereskan hak individu dan hak komunitas dari pemerintahan ke pemerintahan: Soekarno ke Soeharto ke Habibie ke Gus Dur ke Megawati bahkan hingga ke SBY ini?

Merdeka secara formal

Pertanyaan ini menyiratkan bahwa persoalan kemerdekaan kita tersisa hanya dalam level individu dan level komunitas saja. Dalam aras negara-bangsa (”bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa”), kita sudah merdeka persis per 17 Agustus 1945 ketika atas nama bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta mengumandangkan teks Proklamasi itu. Betulkah?

Penelusuran sejarah mengatakan: secara formal, ya; secara substansial, tidak. Kehendak kita ”diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Kenyataannya, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kita sebagai negara-bangsa justru mulai menyerah kepada pihak asing hanya empat tahun setelah Proklamasi dan itu berlanjut sampai sekarang di bawah payung globalisasi. Inilah indikasi yang telak mempertanyakan kemerdekaan di aras negara-bangsa. Dimulai dengan Belanda si penjajah, dilanjutkan dengan asing-asing lainnya baik atas nama negara sendiri-sendiri maupun atas nama persekutuan negara dalam bentuk lembaga-lembaga antarbangsa.

Dari Konferensi Meja Bundar (KMB) kita hanya diberi tahu telah mendapat pengakuan kedaulatan. Namun, buku rekaman sidang KMB mencatat bahwa kita diminta menerima warisan utang Hindia Belanda. Dalam Bagian D mengenai penyelesaian utang-piutang, khususnya Pasal 25 dan Pasal 26, pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengakui bertanggung jawab membayar bunga maupun angsuran modal dari utang tersebut yang dimulai dari tahun 1935. Rupanya pemerintah Hindia Belanda waktu menjajah Indonesia punya utang dalam negeri 3,3 miliar gulden dan utang luar negeri 3 miliar gulden sejak tahun 1935.

Dalam KMB, Indonesia diminta menanggung seluruh utang itu kalau mau berdaulat. Setelah negosiasi akhirnya dicapai kesepakatan, Indonesia hanya bersedia menanggung utang dalam negeri yang 3,3 miliar gulden plus utang luar negeri 1 miliar gulden. Jadi, Indonesia yang belum berutang itu harus menerima dikte sudah punya utang 4,3 miliar gulden demi pengakuan akan kedaulatannya.

Masih ada catatan lain dari KMB. Pada Pasal 14 dan Pasal 15 termaktub bahwa RIS dan Nederland masing-masing akan mengikhtiarkan tata keuangan dan sistem moneter yang sehat. RIS akan mengindahkan aturan-aturan Dana Moneter Internasional (IMF) meski belum menjadi anggota lembaga itu. Maka, kalau mau bicara ihwal ketergantungan Indonesia pada IMF, jangan mulai per 1966 atau 1998, tetapi mulailah sejak 1949!

Pengakuan berutang itu diperkuat dengan ratifikasi Parlemen melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1951 tentang Pengesahan dan Pengakuan Hutang terhadap Kerajaan Belanda. Yang menarik, UU itu ditandatangani bukan oleh Soekarno selaku presiden, melainkan oleh Hatta yang wakil presiden. Mengapa? Penelusuran sejarah kemudian memperlihatkan bahwa dalam voting di kabinet, memang Hatta menang. Satu-satunya yang menolak putusan KMB itu adalah PSI.

Bahwa ada persoalan antarfaksi dalam menerima intervensi asing itu baru terlihat dari dibatalkannya pengesahan dan pengakuan utang Hindia Belanda itu oleh kabinet di bawah Burhanuddin Harahap pada tahun 1956. Pembatalan itu kemudian berlanjut dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya (Inggris), kecuali perusahaan Amerika Serikat, yang beroperasi di Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting datang beruntun setelah itu: PRRI-Permesta, Dekrit Presiden, penggabungan Irian Barat dengan Indonesia, konfrontasi dengan Malaysia, bahkan 30 September 1965. Adakah keterlibatan asing di sana?

Antimodal asing

Penelusuran sejarah tentu akan menjawab pertanyaan itu. Namun, mari melihat beberapa fakta yang berhasil disisir sampai pada diskusi Lingkar Muda Indonesia kali ini. Pada Agustus 1965, sebulan sebelum Peristiwa 30 September, terbit UU Nomor 16 Tahun 1965. Isinya mencabut UU Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing. Bagian Menimbang UU itu berbunyi antara lain ”bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang bagaimanapun juga adalah bersifat menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan terus-menerus penghisapan atas rakyat Indonesia, serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam menyelesaikan tahap nasional demokratis untuk menjalankan Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila”. Jadi, dalam UU Nomor 16 Tahun 1965 ini Indonesia jelas sekali mengambil sikap tegas antimodal asing dan itu disahkan pada 23 Agustus 1965, lima minggu sebelum Peristiwa 30 September 1965.

Tentu banyak sudut pandang sejarah yang mencoba menjelaskan maupun mengaburkan apa sebetulnya yang terjadi di balik Peristiwa 30 September 1965 itu. Apa pun model penafsirannya, satu hal jelas bahwa peristiwa itu merupakan upaya sistematis pihak asing kembali meletakkan Indonesia di bawah kekuasaan mereka. Mari melihat lagi fakta sejarah. Bulan Februari 1966 keluar UU Nomor 1 Tahun 1966 tentang Penarikan Diri Republik Indonesia dari Keanggotaan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development). UU ini memang keluar setelah 30 September 1965, tetapi ia sudah telanjur diproses sebelumnya dan baru disahkan pada Februari 1966.

Dari sudut perundang-undangan kita bisa melihat apa yang terjadi sebelum 30 September 1965. Ada UU yang mengakhiri modal asing yang sedang diproses serta sudah siap dan berhasil ditandatangani sebelum Peristiwa, tetapi kemudian ada UU lain mengenai keluar dari IMF yang baru ditandatangani setelah Peristiwa tapi tetap ditandatangani oleh Soekarno. Setelah November 1966, cerita berbalik. Keluar berturut-turut UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU Nomor 7 Tahun 1967 mengakui kembali utang Hindia Belanda, UU Nomor 8 Tahun 1967 mendaftarkan Indonesia menjadi anggota Asian Development Bank, dan UU Nomor 9 Tahun 1967 mendaftarkan Indonesia kembali menjadi anggota IMF dan World Bank.

Tahun 1951 Hatta menandatangani UU pengesahan dan pengakuan utang Hindia Belanda, tahun 1967—sebelum dimakzulkan oleh MPRS—Soekarno yang menandatangani UU sejenis. Demikian pula UU yang disebut tadi yang keluar pada tahun 1967. Pertanyaannya: apakah Soekarno yang plin-plan atau Soekarno di bawah tekanan asing? Jawabannya mesti dikaitkan dengan fakta bahwa setelah itu, Soekarno tersingkir dari pusaran ”kekuasaan”.

Sejarah pun berulang

Mengapa tidak terlebih dulu Soekarno disingkirkan, kemudian keluar beberapa UU bertarikh 1967 tadi dan ditandatangani Soeharto?

Rupanya pola yang sama terjadi pula kepada Soeharto. Sebelum dijatuhkan pada Mei 1998, Soeharto harus terlebih dulu menandatangani apa yang terkenal dengan nama letter of intents dalam pengawasan Michel Camdessus, bos IMF.

Setelah itu, pada masa Reformasi ini, sudahkah kita merdeka sebagai negara-bangsa? Dalam situs www.usaid.gov tersua kalimat ini: USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000.

Jadi, yang menyusun rancangan UU Migas adalah USAID. Seorang peserta diskusi Lingkar Muda Indonesia menceletuk, ”Jangan-jangan tanggapan Dewan pun sudah dibuatkan sekalian oleh lembaga itu.” Untunglah, pasal-pasal dalam UU Migas yang melanggar UUD kita sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.


Sumber Kompas, Kamis, 28 Agustus 2008 |