Selasa, 26 Mei 2009

Manusia dan Kematian menurut Heidegger


Disusun oleh Daniel Adipranata

Pandangan Heidegger tentang kematian adalah menarik. Pandangannya mengkaitkan antara kematian dan kehidupan. Kematian adalah hal penting untuk kehidupan, dan merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri Manusia adalah ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Artinya, karena menyongsong sejak awal sampai akhir, kematian juga merentang dalam keseharian kita.

Menurut Heidegger, satu-satunya Being atau ‘Ada’ adalah manusia. Dengan mempertanyakan kembali ‘Ada’ kita dalam kehidupan, maka kita tidak sekedar menjalankan hidup. Tidak seperti ‘Ada’ dari orangutan atau mobil yang tergeletak di garasi, yang tidak pernah mempertanyakan ‘ada’-nya. Orangutan ada begitu saja dan mungkin tidak pernah mengambil jarak terhadap ‘Ada’-nya, maka dia tidak pernah menanyakan ‘Ada’-nya. Yang bisa melakukan itu adalah Dasein.

Dasein adalah kata Jerman yang berarti ‘Ada-di-sana’. Ada di mana? ‘Di-sana’ !. di dalam dunia begitu saja, tanpa tahu dari mana dan mau ke mana. Itulah yang disebut faktisitas (Faktizität), yaitu kenyataan bahwa kita ada di dunia ini bersifat niscaya. Kita tak pernah ditanya lebih dahulu mau atau tidak hidup di dunia ini. Kita ‘ada-begitu-saja’, kita ‘di-sana’, di dalam dunia. Heidegger menyebut ini sebagai ‘keterlemparan’ (Geworfenheit). Dasein terlempar ke dunia ini.

Kita ‘ada-begitu-saja’, terlempar. Yang membedakan Dasein dari mengada-mengada lain, adalah bahwa Dasein menyadari keterlemparan ini, lalu berupaya memahaminya. Keterlemparan ini, juga terjadi ketika menghadapi kematian. Ketika, kita tak pernah ‘menjadwalkan’ kapan kita lahir, maka kitapun tak pernah mengetahui kapan kita mati. Namun kebermaknaan hidup justru diperoleh di situ. Dalam ketidakpastian masa depan. Dengan ketidakpastian orang masih memiliki harapan. Harapan berarti terbukanya kemungkinan. Adanya kemungkinan membuat orang termotivasi untuk hidup. Di situlah orang dapat menatap ke depan dan terus memperbaiki diri sepanjang hidupnya. Kita terus meng-‘ada’ sepanjang kita hidup. Dasein memiliki peluang untuk terus memaknakan perjalanan kehidupan menuju kematian yang tidak dapat dipastikan kedatangannya.

Kematian adalah hal penting untuk kehidupan, dan merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri. Kematian adalah hal arkais dalam diri manusia, suatu fundamen dan totalitas terhadap ‘Ada’-nya di dunia ini, yang mencakup rentang sejak keterlemparan sampai kematiannya. Dasein menemukan otentisitasnya jika membuka diri terhadap ‘Ada’-nya dengan menghadapi kemungkinan kematiannya secara mendalam. Dasein menjadi inotentik ketika membiarkan dirinya larut dalam arus keseharian.

‘Ada’ manusia adalah suatu palung tanpa dasar, suatu Nicht (ketiadaan). Maksudnya, ‘Ada’ manusia secara dasariah adalah ‘ketiadaan-diri-sendiri’ (eine Nichtigkeit seiner Selbst). Keterlemparan dasein itulah yang menunjukkan bahwa ‘Ada’ Dasein adalah suatu ketiadaan, karena Dasein tak berasal dari suatu yang diketahui dan menuju ke tujuan yang tak satupun ditetapkan sebelumnya.

Tetapi, ketidaktahuan atau ketiadaan kepastian itulah yang menentukan ‘Ada’-nya, maka lompatan ke dalam hal tersebut menimbulkan kecemasan. Suatu kecemasan yang dapat menjadi mediasi untuk kontak dengan ‘Ada’ yang menjadi sumber nilai-nilai, karena dalam kecemasan itu Dasein bergerak melalui lorong pemahaman akan pencapaian kemungkinan-kemungkinan.

Dasein mencapai totalitas ‘Ada’-nya dalam kematian (Tod). Kematian adalah zenit totalitas ‘Ada’ dasein, tetapi persis pada titik itu pula Dasein kehilangan ‘Ada’-nya—suatu nadir ontologis, karena Dasein berhenti sebagai Ada-di-dalam-dunia. Namun ada suatu ruang terhormat bagi dasein yang terhenti itu. Manusia yang mati ‘lebih’ daripada seonggok daging, dan menjadi almarhum yang bermartabat. Kontak dengan ‘Ada’nya tidak berhenti. Bukan keabadian jiwa dalam pemahaman agama yang diacu di sini, melainkan pengalaman akan dunia-bersama yang masih membekas pada mereka yang ditinggalkan. Hubungan dengan yang mati seolah masih ‘bermukim’ di dalam dunia-bersama itu, sehingga yang mati ‘lebih’ daripada sekedar jenasah. Ciri ‘lebih’ itu, katakanlah semacam sedimentasi memori hasil kebiasaan kontak makna dengannya selama ini.

Tak seorang pun dapat menjemput kematian untuk orang lain. Meski orang bisa mati demi ideologi tertentu seperti teroris yang melakukan bom bunuh diri sekte yang percaya bahwa di satu waktu dan tempat tertentu mereka akan bersama-sama naik ke surga; tetapi kematian adalah tetap kematian bagi dirinya sendiri, bukan mewakili kematian orang lain. Maka itu, kematian adalah momen paling otentik dan eksistensial bagi dasein.

Akhir yang dimaksud dengan kematian, bukanlah berakhirnya dasein, melainkan suatu Ada-menuju-akhir. Dengan kata lain, akhir itu sudah ada sejak permulaan. Kematian sudah menyongsong Dasein sejak keterlemparannya. Manusia adalah ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Artinya, karena menyongsong sejak awal sampai akhir, kematian juga merentang dalam keseharian kita. Kematian selalu, dan tidak sekali saja, menghampiri dasein. Begitu juga dengan kelahiran. Keduanya adalah hal yang eksis dalam kehidupan manusia.

Ada suatu cara sederhana untuk melihat kerangka pendekatan Heidegger dalam memahami kematian: Ketika kematian bukan sesuatu yang bisa menjadi bagian dari pengalaman (melalui perjalanan hidup), tidak akan pernah ada yang bisa kita bicarakan mengenai kematian itu sendiri. Apa yang penting bukan kematian (death) itu sendiri tetapi perjalanan menuju kematian (dying), karena esensi dari keberadaan hidup manusia adalah perjalanan menuju kematian.

Kematian bukan [hanya] dalam pengertian sempit mengenai kematian fisik, melainkan kemungkinan untuk mati. Manusia pasti mati, tetapi tak tahu kapan dan bagaimana. Kecemasan akan kematian eksis dan suatu ketika menyembul dari arus keseharian. Kecemasan itu adalah kecemasan akan kemungkinannya sendiri. Namun sekali lagi, meski menyembul keluar, kematian tetap berada dalam genangan arus keseharian. Di sini akan muncul dua macam sikap terhadap kematian : sikap manusia yang inotentik, cenderung menenang-nenangkan diri dengan anggapan bahwa kematian pasti menimpa setiap orang; dan sikap dasein yang otentik membuka diri terhadap kemungkinan paling mungkin dari dirinya, yaitu kematiannya.

Manusia otentik sudah terbiasa dengan cemas dan kesendiriannya. Artinya, dalam keseharian pun ia tetap bening dengan diri. Antisipasi adalah ciri manusia atau Dasein karena ia adalah ketersingkapan itu sendiri. Karena menyingkapkan dirinya sendiri, dia terbuka terhadap sesuatu yang ada di depan. Dia selalu menyongsong ke depan, mendahului diri, dalam arti manusia itu selalu merupakan gerak, gerak menjadi (Werden), yaitu tidak pernah selesai untuk berkembang. Selalu berkembang sampai mati.

Suatu kesadaran bahwa manusia itu hidup menuju kematian dan keberadaan di dunia hanya persinggahan sementara. Ini adalah bentuk antisipasi (Vorlaufen) atas kematian. Mereka menganggap kematian inheren dalam kehidupan, dan oleh karena itu tak guna ditakutkan. Mereka melihat kematian sebagai bagian eksistensi.

Bandingkan dengan fenomen yang mirip dengan itu, yaitu orang yang karena ajaran-ajaran tertentu tidak lagi takut mati, malah membuat dirinya cepat mati, seperti penganut sekte penunggu kiamat atau pelaku bom bunuh diri. Dalam perspektif Heideggerian, itu termasuk modus kehidupan yang tidak otentik (Das Man). Orang-orang ini, melihat kematian selalu di depan mata, kemudian mereka juga ikut membunuh bersama yang lain. Tidak lagi cemas dengan kematian, tetapi juga tidak pernah sampai taraf di mana harus menghargai hidup. Hanya nafsu survival saja. Membunuh atau dibunuh.

Heidegger menekankan bagaimana kita menghargai hidup yang historis, tidak destruktif bagi sesama manusia, lingkungan alam, lingkungan benda-benda sekitar. Semua adalah relasi kehidupan bersama sebagai meng-‘Ada’ di dunia, dan tugas Dasein-lah untuk merawat eksistensi dunianya. Bagi Dasein, kesadaran akan kematian pada akhirnya merupakan kesadaran akan makna kehidupan.

Bukan kematian yang menjadi esensi untuk kita cemaskan tetapi keotentikan kita dalam menghadapi kematian itu. Keotentikan yang bisa kita peroleh dari kesadaran akan keberadaan kita dan tidak membiarkan kita larut dalam arus keseharian. Larut dalam dogma-dogma serta janji yang kita sendiri tidak pernah tahu esensinya bagi penghargaan akan kehidupan, atau larut dalam usaha untuk bertahan hidup tanpa pernah memaknakan apa sebenarnya arti hidup bagi kita. Dengan menyadari keotentikan kita, maka sebenarnya kita tidak akan pernah takut mengalami kematian itu sendiri. Kematian kitapun bukan sekedar kematian tanpa makna bagi kehidupan yang kita tinggalkan.

Daniel Adipranata

2007@Jakarta

Spirit Carries On’

Telaah Psikologi Kematian dalam Perspektif Heideggerian1


Oleh:

Audifax2

Where did we come from?
Why are we here?
Where do we go when we die?
What lies beyond
And what lay before?
Is anything certain in life?

Petikan lirik lagu "Spirit Carries On" dari Dream Theatre ini menginspirasi penulis. Mengajak untuk mempertanyakan dari mana kita berasal, di mana kita saat ini, akan ke mana setelah mati. Apa yang kita tinggalkan sebelum mati dan adakah kepastian dalam kehidupan. Lagu itu makin menarik ketika penulis menghubungkan dengan berita mengenai sekte yang menunggu datangnya kematian, di Pondok Nabi, Bale Endah Bandung3 atau berbagai peristiwa bom bunuh diri bernuansa fanatisme agama.

I used to be frightened of dying
I used to think death was the end
But that was before
I'm not scared anymore
I know that my soul will transcend

Lagu itu mengalun lagi. Menggambarkan ketakutan yang menghinggapi seseorang ketika menghadapi kematian. Ketakutan yang hilang, ketika orang itu mengetahui bahwa jiwanya akan terangkat menuju suatu tempat.

Sejarah mencatat bahwa hampir semua orang menghadapi kematian dengan rasa takut

As previously noted, primitive man's reaction to death was one of fear. In this enlightened age, man still reacts to death with fear. Death is still an unknown. No one obviously, has ever died and returned to tell us what death is really like. Man naturally fears what he does not understand and can not control. The so-called "near-death" experience is still not a death experience. We can never know exactly what death is, so we can never fully understand it. Therefore we can never stop totally from fearing it.

Much of our response to death is avoidance. Death is not a pleasant topic of conversation. When death must be talked about, it is usually done in academic terms. Talking about death on a personal level creates discomfort. It is much easier to talk about death in terms of, "People die," rather than in terms of, "Someday I will die.".4

Semakin menarik, ketika penulis mencoba memikirkan apa yang ada di benak penganut sekte kematian tersebut. Mereka tampak begitu yakin dalam menghadapi kematian, tidak tergambar ketakutan. Bahkan memiliki keyakinan untuk masuk surga. Suatu kondisi yang setara dengan ketika Imam Samudra, Amrozy, pelaku bom bunuh diri di Turki, dan orang-orang yang meledakkan beberapa tempat dengan mengambil resiko untuk berhadapan dengan kematian.

Ontologi Kematian

Surga [dan neraka] adalah simbol arkais yang menggambarkan suatu "tanah terjanji" bagi orang-orang setelah melalui kematian. Secara hermeneutis, orang-orang Sekte pimpinan Mangapin Sibuea dan para pelaku-pelaku pengeboman, yang keduanya mengatasnamakan agama untuk tindakan yang dilakukan, mengharapkan tanah terjanji tersebut setelah kematian. Namun pertanyaan muncul, darimana mereka bisa begitu yakin bahwa mereka akan memasuki tanah terjanji ?

Kita mungkin tidak akan pernah mengerti mengapa mereka melakukan itu semua. Sebuah tindakan yang tidak akan pernah masuk dalam nalar logis. Namun sebenarnya bukan itu yang penting. Pemaknaan mengenai kematian justru menjadi hal yang menarik. Selama ini, sebagian dari kita menyadari kematian, tanpa memiliki konsep jelas dalam menyikapi. Yang ketakutan, bahkan memilih untuk tidak memikirkannya. Ini membuat seseorang menjalani kehidupan dengan hampa tanpa pernah mempertanyakan apa makna hidup, dari mana dia berasal, mengapa dia hidup dengan keberadaan sekarang, apa yang akan terjadi jika dia mati, dan apa makna kematian.

Hidup kita, layaknya melihat matahari terbit setiap hari dan tidak pernah mempersoalkan pemaknaannya dalam kehidupan kita. Kerapkali, kita menerima begitu saja apa yang kita lihat dan dikatakan orang. Edmund Husserl menyebut sikap taken for granted ini sebagai natürliche Einstellung (Sikap alamiah), yaitu kepercayaan naif bahwa dunia luar itu ada begitu saja.

William Dilthey menjelaskan bahwa hidup penuh dengan makna5. Bila kita mencoba menjelaskan tentang alam dan kematian, saat itu pula kita memahami kehidupan batin. Apa yang kita pahami mengenai alam dan kematian bukan merupakan pemahaman sebenarnya, karena alam bukan buatan manusia. Pemahaman mengenai alam adalah suatu peng’alam’an peristiwa. Menjadikan sesuatu yang sebelumnya eksternal menjadi internal, menyatu dengan batin.

Dilthey membuat perbedaan penting antara dua buah kata dalam bahasa Jerman yang sama-sama dapat diterjemahkan sebagai "pengalaman", yaitu erfahrung dan erlebnis. Kata erfahrung biasanya diartikan sebagai "pengalaman" seperti pemahaman kita pada umumnya. Sedangkan erlebnis adalah kata turunan yang berasal dari kata kerja erleben yang berarti "mengalami". Erfahrung adalah term umum, sedangkan erlebnis adalah term khusus yang dipergunakan untuk mengkonotasikan pengalaman batin atau "pengalaman yang hidup"6.

Berkaitan dengan psikologi, kita melihat bahwa tidak semua pengalaman dapat disebut dengan erlebnis atau pengalaman yang hidup. Bisa jadi, seseorang menjalani kehidupan tanpa memiliki pengalaman yang hidup selain pengalaman-pengalaman yang menjenuhkan dan tidak bermakna apa-apa (erfahrung).

Semboyan Husserl, Zurück zu den Sachen selbst (kembalilah ke hal-hal itu sendiri) dapat kita mengerti sebagai upaya untuk mendekati fenomena kehidupan semurni mungkin dan dunia-kehidupan seotentik mungkin. Fenomena kematian, dalam perkembangannya tidak pernah tampak apa adanya karena sudah ditafsirkan oleh para "ahli", misalnya diteropong sebagai bentuk fundamentalisme, liberalisme, humanisme, dan isme-isme lainnya. Tetapi apakah fenomena kematian itu pada dirinya?

Episteme Kematian

Fenomena kematian adalah suatu pintu menuju fenomena lain. Untuk membiarkan kematian "menampakkan diri" pada dirinya sendiri, kita tidak bisa menafsirkan penafsiran-penafsiran siapapun begitu saja, melainkan membuka diri, yaitu membiarkan kematian terlihat. Langkah tepat untuk memahami kematian adalah membuka diri, bukan sekedar menganalisis. Bayangkanlah kita sebagai orang yang melihat pertama kali fenomena kematian, pertama-tama akan heran, mengapa ada kematian? Keheranan yang akan menempatkan kita sebagai ‘pemula’ dalam melihat kematian. Seperti tergambar dalam lanjutan lirik lagu Spirit Carries On berikut :

I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove
What I know to be true
But I know that I still have to try

Safe in the light that surrounds me
Free of the fear and the pain
My questioning mind
Has helped me to find
The meaning in my life again

Ya…kita mungkin tidak pernah memperoleh jawaban atau pemahaman eksak mengenai ontologi kematian. Tetapi, pencarian jawaban itulah yang membawa kita pada pemaknaan hidup, ketimbang membiarkan kematian dan taken-for granted terhadap semua pemahaman mengenai kematian.

The being that exists is man. Man alone exists. Rocks are, but they do not exist. Trees are, but they do not exist. Horses are, but they do not exist. Angels are, but they do not exist. God is, but he does not exist. The proposition "man alone exists" does not mean by any means that man alone is7

Satu-satunya Being atau ‘Ada’ adalah manusia. Dengan mempertanyakan kembali ‘Ada’ kita dalam kehidupan, maka kita tidak sekedar menjalankan hidup. Tidak seperti ‘Ada’ dari orangutan atau mobil yang tergeletak di garasi, yang tidak pernah mempertanyakan ‘ada’-nya. Orangutan ada begitu saja dan mungkin tidak pernah mengambil jarak terhadap ‘Ada’-nya, maka dia tidak pernah menanyakan ‘Ada’-nya. Yang bisa melakukan itu adalah Dasein8 .

Dasein adalah kata Jerman yang berarti ‘Ada-di-sana’ Ada di mana? ‘Di-sana’ !. di dalam dunia begitu saja, tanpa tahu dari mana dan mau ke mana. Seperti yang dipertanyakan dalam lirik lagu Spirit Carries On. Itulah yang disebut faktisitas (Faktizität), yaitu kenyataan bahwa kita ada di dunia ini bersifat niscaya. Kita tak pernah ditanya lebih dahulu mau atau tidak hidup di dunia ini. Kita ‘ada-begitu-saja’, kita ‘di-sana’, di dalam dunia. Heidegger menyebut ini sebagai ‘keterlemparan’ (Geworfenheit). Dasein terlempar ke dunia ini9.

Dasein adalah keber-ada-an manusia, tidak seperti entitas lain. Dasein bukan suatu [kata]‘benda’. Ada dua ciri yang mengkarakterisasi Dasein : 1) Dasein memiliki suatu pemahaman mengenai dirinya sendiri, dan 2) Dasein, adalah Keber’ada’an, suatu ada- dalam- dunia atau ‘ada-sebagai-suatu-ada’.10

Dasein adalah term yang menggambarkan keberadaaan alami manusia dan relasi esensial manusia pada keterbukaan akan ‘Ada’-nya. Term ini juga berkembang, kendati dalam pemikiran metafisik kerap dipertukarkan dengan eksistensi, aktualitas, realitas, dan objektivitas, dan meski dalam metafisik penggunaan istilah ini lebih jauh didukung oleh ekspresi yang umum (dalam bahasa Jerman) : "menschliches Dasein."11

Kita ‘ada-begitu-saja’, terlempar. Yang membedakan Dasein dari mengada-mengada lain, adalah bahwa Dasein menyadari keterlemparan ini, lalu berupaya memahaminya. Agama—meskipun secara holistis dan mendalam—hanyalah salah satu cara memahami keterlemparan, tetapi faktisitas tetap, yaitu bahwa kita ‘ada-begitu-saja’. Mengada-mengada yang lain juga ‘ada-begitu-saja’, tetapi tidak mempersoalkan fakta tentang ‘ada-begitu-saja’ ini. Karena tidak mempunyai akses ke ada mereka. Mengada-mengada yang lain itu seolah tertutup pada dirinya sendiri. Dasein bisa menanyakan ‘Ada’ karena memiliki hubungan dengan ‘Ada-nya, yakni terbuka terhadap ‘Ada’-nya. Hubungan dengan ‘Ada’-nya ini disebut eksistensi (Existenz)12.

Keterlemparan ini, juga terjadi ketika menghadapi kematian. Ketika, kita tak pernah ‘menjadwalkan’ kapan kita lahir, maka kitapun tak pernah mengetahui kapan kita mati. Namun kebermaknaan hidup justru diperoleh di situ. Dalam ketidakpastian masa depan. Dengan ketidakpastian orang masih memiliki harapan. Harapan berarti terbukanya kemungkinan. Adanya kemungkinan membuat orang termotivasi untuk hidup. Di situlah orang dapat menatap ke depan dan terus memperbaiki diri sepanjang hidupnya. Kita terus meng-‘ada’ sepanjang kita hidup. Dasein memiliki peluang untuk terus memaknakan perjalanan kehidupan menuju kematian yang tidak dapat dipastikan kedatangannya.

‘Ada’ Dasein adalah suatu ‘menjadi’ karena terus menerus mengada dan belum ada secara penuh. Dalam arti inilah Heidegger lalu menyebut bahwa Dasein adalah kemungkinan itu sendiri (Seinkönnen). ‘Ada’ Dasein tak lain daripada sesuatu yang ia tentukan sendiri13.

Menyembul dan membenamkan diri dalam keseharian, menemukan ‘Ada’-nya dan raib di tengah anonimitas keseharian, itulah dinamika kehidupan Dasein sebagai ‘Ada-di-dalam-dunia’. Dalam peristiwa kehidupan manusia, selalu ada alunan rutinitas yang menghanyutkan; seperti ketika kita bangun tidur, makan pagi, berangkat kerja; makan siang, pulang kerja, makan malam, tidur. Tetapi ada kala di tengah arus rutinitas tersebut, kita seolah terhempas ke dalam diri kita sendiri; ketika kita tercenung cemas memikirkan hubungan cinta yang kandas karena perbedaan agama. Kekecewaan, cinta, pedih, dan ketakutan seolah membendung arus rutinitas. Demikian juga ketika seseorang mengalami kecemasan, karena situasi tertentu memaksanya sadar bahwa dirinya berhadapan dengan kematian. Di saat-saat itulah kita menyembul dari arus sungai rutinitas keseharian yang menghanyutkan kehidupan.

Baik menyembul maupun terbenam, tetap terjadi dalam arus sungai kehidupan keseharian. Dasein tak pernah keluar sepenuhnya dari keseharian. Dasein juga tidak berasal dari sesuatu yang di atas keseharian, melainkan senantiasa berada dalam derasnya arus keseharian. Bila kita amati, muncul skema berikut : manusia terlempar ke dunia ini, timbul dan terbenam dalam keseharian, dan akhirnya mati.

Being and Death

...Dasein constantly _is its not-yet as long as it is, it also already _is its end. The ending we have in view when we speak of death does not signify a being-at-an-end of Dasein, but rather a being toward the end of this being. Death is a way to be that Dasein takes over as soon as it is.14

Kematian adalah hal penting untuk kehidupan, dan merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri. Kematian adalah hal arkais dalam diri manusia, suatu fundamen dan totalitas terhadap ‘Ada’-nya di dunia ini, yang mencakup rentang sejak keterlemparan sampai kematiannya. Dasein menemukan otentisitasnya jika membuka diri terhadap ‘Ada’-nya dengan menghadapi kemungkinan kematiannya secara mendalam. Dasein menjadi inotentik ketika membiarkan dirinya larut dalam arus keseharian.

‘Ada’ manusia adalah suatu palung tanpa dasar, suatu Nicht (ketiadaan). Maksudnya, ‘Ada’ manusia secara dasariah adalah ‘ketiadaan-diri-sendiri’ (eine Nichtigkeit seiner Selbst). Keterlemparan dasein itulah yang menunjukkan bahwa ‘Ada’ Dasein adalah suatu ketiadaan, karena Dasein tak berasal dari suatu yang diketahui dan menuju ke tujuan yang tak satupun ditetapkan sebelumnya15.

Tetapi, ketidaktahuan atau ketiadaan kepastian itulah yang menentukan ‘Ada’-nya, maka lompatan ke dalam hal tersebut menimbulkan kecemasan. Suatu kecemasan yang dapat menjadi mediasi untuk kontak dengan ‘Ada’ yang menjadi sumber nilai-nilai, karena dalam kecemasan itu Dasein bergerak melalui lorong pemahaman akan pencapaian kemungkinan-kemungkinan16.

Dasein mencapai totalitas ‘Ada’-nya dalam kematian (Tod). Kematian adalah zenit totalitas ‘Ada’ dasein, tetapi persis pada titik itu pula Dasein kehilangan ‘Ada’-nya—suatu nadir ontologis, karena Dasein berhenti sebagai Ada-di-dalam-dunia. Namun ada suatu ruang terhormat bagi dasein yang terhenti itu. Manusia yang mati ‘lebih’ daripada seonggok daging, dan menjadi almarhum yang bermartabat. Kontak dengan ‘Ada’nya tidak berhenti. Bukan keabadian jiwa dalam pemahaman agama yang diacu di sini, melainkan pengalaman akan dunia-bersama yang masih membekas pada mereka yang ditinggalkan. Hubungan dengan yang mati seolah masih ‘bermukim’ di dalam dunia-bersama itu, sehingga yang mati ‘lebih’ daripada sekedar jenasah. Ciri ‘lebih’ itu, katakanlah semacam sedimentasi memori hasil kebiasaan kontak makna dengannya selama ini17.

There is an important relationship between freedom and responsibility, between possibility and the integrity of one's own being, which becomes clear in Heidegger's discussion of the mood anxiety. In anxiety Dasein becomes aware of its facticity (that it is mortal) and its thrownness (that death is inevitable), for when Dasein reflects on what bothers it in anxiety the answer is "nothing". Existentially this "nothing" or "no-thingness" is the possibility of Dasein no longer having any possibilities. Anxiety individualizes, that is Dasein becomes aware of the fact that death is non-relational or that death, one's ownmost possibility, can not be shared. In realizing this possibility Dasein is called back from falling into the world of the "they" and is now freed to choose between authenticity and inauthenticity, interpreting itself in terms of its ownmost Self or interpreting itself in terms of its "they" self.18

Tak seorang pun dapat menjemput kematian untuk orang lain. Meski orang bisa mati demi ideologi tertentu seperti teroris yang melakukan bom bunuh diri sekte yang percaya bahwa di satu waktu dan tempat tertentu mereka akan bersama-sama naik ke surga; tetapi kematian adalah tetap kematian bagi dirinya sendiri, bukan mewakili kematian orang lain. Maka itu, kematian adalah momen paling otentik dan eksistensial bagi dasein.

Akhir yang dimaksud dengan kematian, bukanlah berakhirnya dasein, melainkan suatu Ada-menuju-akhir. Dengan kata lain, akhir itu sudah ada sejak permulaan. Kematian sudah menyongsong Dasein sejak keterlemparannya. Manusia adalah ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Artinya, karena menyongsong sejak awal sampai akhir, kematian juga merentang dalam keseharian kita. Kematian selalu, dan tidak sekali saja, menghampiri dasein. Begitu juga dengan kelahiran. Keduanya adalah hal yang eksis dalam kehidupan manusia.

Ada suatu cara sederhana untuk melihat kerangka pendekatan Heidegger dalam memahami kematian: Ketika kematian bukan sesuatu yang bisa menjadi bagian dari pengalaman (melalui perjalanan hidup), tidak akan pernah ada yang bisa kita bicarakan mengenai kematian itu sendiri. Apa yang penting bukan kematian (death) itu sendiri tetapi perjalanan menuju kematian (dying), karena esensi dari keberadaan hidup manusia adalah perjalanan menuju kematian19.

Kematian bukan [hanya] dalam pengertian sempit mengenai kematian fisik, melainkan kemungkinan untuk mati. Manusia pasti mati, tetapi tak tahu kapan dan bagaimana. Kecemasan akan kematian eksis dan suatu ketika menyembul dari arus keseharian. Kecemasan itu adalah kecemasan akan kemungkinannya sendiri. Namun sekali lagi, meski menyembul keluar, kematian tetap berada dalam genangan arus keseharian. Di sini akan muncul dua macam sikap terhadap kematian : sikap manusia yang inotentik, cenderung menenang-nenangkan diri dengan anggapan bahwa kematian pasti menimpa setiap orang; dan sikap dasein yang otentik membuka diri terhadap kemungkinan paling mungkin dari dirinya, yaitu kematiannya.

Manusia otentik sudah terbiasa dengan cemas dan kesendiriannya. Artinya, dalam keseharian pun ia tetap bening dengan diri20. Antisipasi adalah ciri manusia atau Dasein karena ia adalah ketersingkapan itu sendiri. Karena menyingkapkan dirinya sendiri, dia terbuka terhadap sesuatu yang ada di depan. Dia selalu menyongsong ke depan, mendahului diri, dalam arti manusia itu selalu merupakan gerak, gerak menjadi (Werden), yaitu tidak pernah selesai untuk berkembang. Selalu berkembang sampai mati21.

Dalam kejawen, kita mengenal pengertian umum yang serupa dengan apa yang dimaksud oleh Heidegger sebagai membuka diri terhadap kematian, yang diistilahkan dengan Sangkan Paraning Dumadi (Totalitas asal dan tujuan manusia: bahwa keberadaan manusia di dunia hanya seperti orang mampir minum di warung). Suatu kesadaran bahwa manusia itu hidup menuju kematian dan keberadaan di dunia hanya persinggahan sementara. Ini adalah bentuk antisipasi (Vorlaufen) atas kematian. Mereka menganggap kematian inheren dalam kehidupan, dan oleh karena itu tak guna ditakutkan. Mereka melihat kematian sebagai bagian eksistensi.

Bandingkan dengan fenomen yang mirip dengan itu, yaitu orang yang karena ajaran-ajaran tertentu tidak lagi takut mati, malah membuat dirinya cepat mati, seperti penganut sekte penunggu kiamat atau pelaku bom bunuh diri. Dalam perspektif Heideggerian, itu termasuk modus kehidupan yang tidak otentik (Das Man). Orang-orang ini, melihat kematian selalu di depan mata, kemudian mereka juga ikut membunuh bersama yang lain. Tidak lagi cemas dengan kematian, tetapi juga tidak pernah sampai taraf di mana harus menghargai hidup. Hanya nafsu survival saja. Membunuh atau dibunuh.

Heidegger menekankan bagaimana kita menghargai hidup yang historis, tidak destruktif bagi sesama manusia, lingkungan alam, lingkungan benda-benda sekitar. Semua adalah relasi kehidupan bersama sebagai meng-‘Ada’ di dunia, dan tugas Dasein-lah untuk merawat eksistensi dunianya. Bagi Dasein, kesadaran akan kematian pada akhirnya merupakan kesadaran akan makna kehidupan.

Bukan kematian yang menjadi esensi untuk kita cemaskan tetapi keotentikan kita dalam menghadapi kematian itu. Keotentikan yang bisa kita peroleh dari kesadaran akan keberadaan kita dan tidak membiarkan kita larut dalam arus keseharian. Larut dalam dogma-dogma serta janji yang kita sendiri tidak pernah tahu esensinya bagi penghargaan akan kehidupan, atau larut dalam usaha untuk bertahan hidup tanpa pernah memaknakan apa sebenarnya arti hidup bagi kita. Dengan menyadari keotentikan kita, maka sebenarnya kita tidak akan pernah takut mengalami kematian itu sendiri. Kematian kitapun bukan sekedar kematian tanpa makna bagi kehidupan yang kita tinggalkan.

If I die tomorrow
I'd be allright
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on

© Audifax - 25 Februari 2005

CATATAN-CATATAN:

1 Makalah ini dipresentasikan pada diskusi mengenai Decision Making di Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA) pada tanggal 25 Pebruari 2005

2 Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA) - Surabaya

3 Lihat berita di Kompas; Selasa, 11 November 2003; Menunggu Kiamat, 283 Jemaat Sekte Dievakuasi; http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/11/utama/679715.htm

4 Anonim, Psychology of Death (2000); online documents : _______________

5 Dilthey membedakan Naturwissenschaften (ilmu alam) dan Geisteswissenschaften (ilmu batin).

6 E. Sumaryono; (1999); Hermeneutik – Sebuah Metode Filsafat; Yogyakarta : Kanisius; hal. 51

7 Martin Heidegger (1949); Existence and Being; online documents : http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/ge/heidegg2.htm

8 Inilah nama bagi manusia. Heidegger tak pernah menyebut ‘manusia’ dalam bukunya, karena istilah ini bisa bermakna kerumunan spesies. Kata ‘manusia’ adalah abstraksi dari yang konkret seperti : Novi, Tjok, Vini, Diaz dan seterusnya, sehingga seolah mencabut manusia dari kekonkretannya. Dalam situasi konkret, tak seorangpun suka jika hanya disebut manusia.

9 F. Budi Hardiman; (2003); Heidegger dan Mistik Keseharian – Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit; Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia; hal. 47 - 48

10 Jeffrey Compton; On the Structure of Human Existence: A brief ontological description of the human kind of being from an existential-phenomenological perspective; online documents : http://home.earthlink.net/~rationalmystic/humanstr.htm

11 Heidegger (1949); op.cit

12 Hardiman; (2003); op.cit; hal 49.

13 Ibid; hal 50

14 Martin Heidegger; (1962); Being and Time; Diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh : John Macquarrie dan Edward Robinson; New York : Harper & Row; hal 158

15 Hardiman; (2003); op cit; hal 79.

16 Tak ada ‘iman’ di sini, namun kecemasan itu sendiri lebih otentik daripada ‘iman’ yang memberi jaminan kepastian dan dapat menjinakkan kecemasan. Manusia otentik tidak lari dari kecemasannya ke dalam ‘iman’, karena justru dengan bermukim dalam kecemasan, manusia memperoleh akses ke dalam ‘Ada’nya.

17 Hardiman; (2003); op cit; hal 88 - 89

18 Compton, op.cit

19 Anonim; HEIDEGGER ON DEATH, online documents : http://www.gis.net/~tbirch/heidweb.txt

20 Hardiman; op.cit; hal 158

21 Ibid; hal 160

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, HEIDEGGER ON DEATH, online documents : http://www.gis.net/~tbirch/heidweb.txt

Anonim; Psychology of Death (2000); online documents : _______________

Compton, Jeffrey; On the Structure of Human Existence: A brief ontological description of the human kind of being from an existential-phenomenological perspective; online documents : http://home.earthlink.net/~rationalmystic/humanstr.htm

Hardiman, F. Budi; (2003); Heidegger dan Mistik Keseharian – Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit; Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

Heidegger, Martin (1949); Existence and Being; online documents : http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/ge/heidegg2.htm

Heidegger, Martin; (1962); Being and Time; Diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh : John Macquarrie dan Edward Robinson; New York : Harper & Row

Kompas; Selasa, 11 November 2003; Menunggu Kiamat, 283 Jemaat Sekte Dievakuasi; http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/11/utama/679715.htm

Sumaryono, E; (1999); Hermeneutik – Sebuah Metode Filsafat; Yogyakarta : Kanisius

Senin, 05 Januari 2009

Merajalelanya Keserakahan (Daniel Adipranata, Kompas, 30 Des 2008)


Kompas- Selasa, 30 Desember 2008 | 01:02 WIB
Oleh Daniel Adipranata
Keserakahan manusia akan menjatuhkan dunia – Paus Benediktus XVI

Dunia kembali dikejutkan oleh skandal penipuan keuangan terbesar dalam sejarah manusia. Bernard Madoff, mantan Ketua Nasdaq, melalui perusahaan bernama Madoff Investment Securities, melakukan penipuan senilai 50 miliar dollar AS di Wall Street.

Dalam jangka waktu 10 tahun, dunia berturut-turut telah mengalami empat kali skandal penipuan keuangan besar: skandal Long Term Capital Management, Enron (2001), Lehman Brothers (September 2008), dan Madoff (Kompas, 17/12).
 
Intensitas skandal yang terjadi ini semakin menunjukkan bahwa permasalahan utama bukan hanya masalah kecelakaan bisnis atau penipuan akuntansi yang sistemik, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terkendali. Para penanam modal menginginkan keuntungan berlipat ganda dalam waktu secepat-cepatnya. Pengelola investasi memanfaatkan keserakahan itu dengan merekayasa bisnis ”sim salabim” untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin.


Anatomi keserakahan
Leo Tolstoy menulis sebuah cerita pendek tentang seorang petani kaya yang tak puas dengan tanah pertanian yang dimilikinya. Suatu hari ia menerima tawaran untuk memperoleh tanah seluas apa pun dengan syarat hanya satu: ia berjalan sejak pagi hari dan harus kembali sebelum matahari terbenam. Seluruh tanah yang bisa dijalaninya menjadi miliknya. Namun, jika ia tak kembali sebelum matahari terbenam, ia tak memperoleh apa pun.

Didorong hasrat untuk memiliki lebih, petani itu terus berjalan dan menggunakan tenaga terakhirnya untuk kembali ke titik awal sebelum matahari terbenam. Ia sadar bahwa ia begitu letih, tetapi ia terus menggunakan tenaga sampai akhirnya ia berhasil kembali. Namun, pada saat itu ia terjatuh, mulutnya mengeluarkan banyak darah, lalu ia mati. ”How Much Land Does a Man Need?” demikian judul cerpen Tolstoy yang dijawab pada akhir kisah ini: cukup untuk mengubur seorang manusia yang serakah, 1 x 2 meter persegi.

Kita hidup di tengah lingkungan yang penuh teladan keserakahan. Nilai seorang manusia diukur dari kuantitas harta ataupun status sosialnya, tanpa memedulikan cara mendapatkannya. Teladan keserakahan menyebarkan pola berpikir jangka pendek yang hanya sekadar meraup keuntungan sebanyak mungkin tanpa memperhitungkan kerugian yang dihasilkan.

Orang yang menderita penyakit keserakahan ini pada umumnya tidak merasakan gejala apa-apa, tetapi orang lain yang berinteraksi dengannya menjadi korban keserakahannya.

Keserakahan sebenarnya bukan sekadar kerakusan untuk mengambil lebih dengan memanfaatkan segala celah sistem akuntansi dan kelemahan pengawasan lembaga. Keserakahan mengandung persoalan lebih dalam karena menggeser pusat hidup manusia dari hidup-bagi-yang lain (sesama) menjadi hidup-bagi-aku dan bahkan sesama-bagi-aku.


Tata moral dunia baru
Pergeseran ini menyebabkan manusia mengeksploitasi sesamanya dan alam sekitarnya. Padahal, Mahatma Gandhi pernah berwejang, ”Earth is enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed.”

Di tengah merajalelanya keserakahan manusia, dunia membutuhkan bukan hanya pengaturan sistem pengawasan ekonomi (tata ekonomi) dunia baru, melainkan peletakan ulang tata moral dunia baru.

Tugas etika tidaklah cukup dengan hanya mengajarkan jalan yang harus ditempuh manusia bila ia mau menemukan eksistensi yang bermakna. Etika tidaklah memadai lagi kalau hanya menegaskan agar kita bertindak dengan baik, jujur, dan adil atau agar kita mendasarkan diri pada prinsip universalisasi Kant atau mengusahakan the greater happiness for the greatest numbers.


Ada tugas yang lebih besar dan progresif dari etika. Etika harus mampu membatasi keserakahan manusia atas sesama dan alam sekitarnya.

Levinas adalah filosof pertama yang memperlihatkan bahwa keharusan mutlak untuk bersikap baik merupakan evidensi intuitif tak terbantah yang selalu sudah disadari secara langsung, yaitu dalam setiap pertemuan dengan sesama (Magnis-Suseno, Pijar Filsafat). Sesama dan alam bukanlah obyek eksploitasi atau sumber keuntungan sesaat.


Daniel Adipranata Sekjen Perkantas, Dosen Agama Kristen, Aktivis Lingkar Muda Indonesia

Moralitas Harapan


Moralitas Harapan
Jumat, 2 Januari 2009 | 00:27 WIB
Oleh Yonky Karman
Suasana muram menyelimuti tahun 2009. Masalah ekonomi menggayuti pikiran banyak orang. Alam juga tidak bersahabat, seperti membalas gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan.
Menurut laporan badan pemerintah Geoscience Australia (26/12/08), Indonesia, Filipina, dan China menanggung risiko terbesar dalam bencana alam berskala besar yang bisa menewaskan hingga 1 juta orang sekaligus. Toh, tahun keprihatinan tetap dirayakan. Orang tidak lelah berharap.
Masa kini bukan terminal masa lalu. Di depan masih terbentang kemungkinan buruk dan baik. Hidup adalah sebuah petualangan memasuki terra incognita dunia kemungkinan. Itulah daya tarik masa depan yang sekaligus menggelisahkan. Orang tergoda menguasai masa depan dengan ramalan dan prediksi. Namun, berharap tetap cara terbaik untuk merealisasikan masa depan yang lebih baik.
Merayakan masa kini
Ada risiko berharap yang bentuk ekstremnya adalah putus asa. Karena krisis ekonomi, ada orang miskin bunuh diri. Ada pula orang superkaya yang bunuh diri karena tertipu skema piramid. Maka, berharap menuntut keberanian moral.
Kaum eksistensialis menuduh harapan merampas kepenuhan masa kini. Kaum yang merayakan masa depan dituduh tidak serius dengan masa kini. Harapan kaum beragama tidak memberi solusi bagi problem kemiskinan, malah melanggengkan. Agama dituduh memberi harapan yang mengawang-awang. Utopia. Masa kini dibiarkan berlalu begitu saja.
Pascal melihat ketidakarifan manusia menyikapi masa kini yang tak sesuai harapan (Pen- sées, No 172). Masa lalu dikenang, seolah-olah terlalu cepat berlalu dan dapat dihentikan. Atau, masa depan diantisipasi, seolah-olah datang terlalu lambat dan dapat dipercepat.
Mereka yang merayakan masa kini tidak mau disandera kenangan dan juga tidak mau jadi pemimpi. Cawan masa kini ditenggak habis. Eksistensi dikosongkan dari harapan. Realisme ditentukan fakta masa kini. Namun, masa kini yang dikosongkan dari harapan disukai status quo yang mau melenggang tanpa kritik.
Genealogi harapan
Dengan cara berpikir materialisme historis-dialektis, Ernst Bloch (1885-1977) memulihkan moralitas harapan. Pengaruh kausalitas ilmu pengetahuan alam berhasil membuat ilmu pengetahuan sosial, termasuk sejarah, menjadi sesuatu yang mekanistis. Namun, masa kini bukan bahan mati, melainkan kenyataan yang terbuka untuk kemungkinan baru (Das Prinzip Hoffnung, I-III, 1954-1959).
Maka, Bloch tidak melihat perubahan sejarah sebagai peralihan dari sebab kepada akibat, tetapi dari kemungkinan kepada kenyataan. Bukan keniscayaan kausalitas yang menjadi bagian dari proses sejarah, tetapi kemungkinan obyektif dan keputusan subyektif. Harapan membuat masa depan menjadi kemungkinan obyektif. Harapan membuat orang berupaya menemukan jalan untuk merealisasikan kemungkinan baru.
Jürgen Moltmann (1926- ) menarik wacana sekuler pengharapan itu ke dalam ranah teologi (Theologie der Hoffnung, 51.965). Sebagai sumber pengharapan (Rm. 15:13), Tuhan tidak hanya transendental dan imanen, tetapi juga Tuhan masa depan. Masa depan termasuk sifat kodrati-Nya. Sesuai dengan janji-Nya, Tuhan akan membuat segala sesuatu menjadi baru.
Orang beriman bukan pemimpi. Imannya bersauh tunggal pada sumber pengharapan. Harapan bukan melulu soal kiamat dan dunia akhirat, melainkan juga masa depan dunia yang lebih damai dan adil sebagaimana kehendak Sang Pencipta. Menaruh harap kepada Tuhan berarti turut aktif memperbarui kehidupan di sini dan kini.
Agama memberi perspektif yang memungkinkan harapan menjadi kenyataan. Agama seharusnya membuat orang bertanggung jawab atas masa depan. Tahun baru tak berarti apa-apa tanpa perubahan sikap dan perilaku.
Pada tahun pemilu ini, ruang publik dipenuhi spanduk dan poster dari politisi yang menebar janji. Jangan sampai rakyat dikecewakan seperti oleh pemerintah yang berjanji menjamin pasokan elpiji terjaga, terbukti gagal memenuhi janjinya.
Semoga tahun baru yang mulai kita tapaki ini bukan tahun janji. Dan, semoga kita semua selamat dari krisis.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta