Senin, 05 Januari 2009

Merajalelanya Keserakahan (Daniel Adipranata, Kompas, 30 Des 2008)


Kompas- Selasa, 30 Desember 2008 | 01:02 WIB
Oleh Daniel Adipranata
Keserakahan manusia akan menjatuhkan dunia – Paus Benediktus XVI

Dunia kembali dikejutkan oleh skandal penipuan keuangan terbesar dalam sejarah manusia. Bernard Madoff, mantan Ketua Nasdaq, melalui perusahaan bernama Madoff Investment Securities, melakukan penipuan senilai 50 miliar dollar AS di Wall Street.

Dalam jangka waktu 10 tahun, dunia berturut-turut telah mengalami empat kali skandal penipuan keuangan besar: skandal Long Term Capital Management, Enron (2001), Lehman Brothers (September 2008), dan Madoff (Kompas, 17/12).
 
Intensitas skandal yang terjadi ini semakin menunjukkan bahwa permasalahan utama bukan hanya masalah kecelakaan bisnis atau penipuan akuntansi yang sistemik, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terkendali. Para penanam modal menginginkan keuntungan berlipat ganda dalam waktu secepat-cepatnya. Pengelola investasi memanfaatkan keserakahan itu dengan merekayasa bisnis ”sim salabim” untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin.


Anatomi keserakahan
Leo Tolstoy menulis sebuah cerita pendek tentang seorang petani kaya yang tak puas dengan tanah pertanian yang dimilikinya. Suatu hari ia menerima tawaran untuk memperoleh tanah seluas apa pun dengan syarat hanya satu: ia berjalan sejak pagi hari dan harus kembali sebelum matahari terbenam. Seluruh tanah yang bisa dijalaninya menjadi miliknya. Namun, jika ia tak kembali sebelum matahari terbenam, ia tak memperoleh apa pun.

Didorong hasrat untuk memiliki lebih, petani itu terus berjalan dan menggunakan tenaga terakhirnya untuk kembali ke titik awal sebelum matahari terbenam. Ia sadar bahwa ia begitu letih, tetapi ia terus menggunakan tenaga sampai akhirnya ia berhasil kembali. Namun, pada saat itu ia terjatuh, mulutnya mengeluarkan banyak darah, lalu ia mati. ”How Much Land Does a Man Need?” demikian judul cerpen Tolstoy yang dijawab pada akhir kisah ini: cukup untuk mengubur seorang manusia yang serakah, 1 x 2 meter persegi.

Kita hidup di tengah lingkungan yang penuh teladan keserakahan. Nilai seorang manusia diukur dari kuantitas harta ataupun status sosialnya, tanpa memedulikan cara mendapatkannya. Teladan keserakahan menyebarkan pola berpikir jangka pendek yang hanya sekadar meraup keuntungan sebanyak mungkin tanpa memperhitungkan kerugian yang dihasilkan.

Orang yang menderita penyakit keserakahan ini pada umumnya tidak merasakan gejala apa-apa, tetapi orang lain yang berinteraksi dengannya menjadi korban keserakahannya.

Keserakahan sebenarnya bukan sekadar kerakusan untuk mengambil lebih dengan memanfaatkan segala celah sistem akuntansi dan kelemahan pengawasan lembaga. Keserakahan mengandung persoalan lebih dalam karena menggeser pusat hidup manusia dari hidup-bagi-yang lain (sesama) menjadi hidup-bagi-aku dan bahkan sesama-bagi-aku.


Tata moral dunia baru
Pergeseran ini menyebabkan manusia mengeksploitasi sesamanya dan alam sekitarnya. Padahal, Mahatma Gandhi pernah berwejang, ”Earth is enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed.”

Di tengah merajalelanya keserakahan manusia, dunia membutuhkan bukan hanya pengaturan sistem pengawasan ekonomi (tata ekonomi) dunia baru, melainkan peletakan ulang tata moral dunia baru.

Tugas etika tidaklah cukup dengan hanya mengajarkan jalan yang harus ditempuh manusia bila ia mau menemukan eksistensi yang bermakna. Etika tidaklah memadai lagi kalau hanya menegaskan agar kita bertindak dengan baik, jujur, dan adil atau agar kita mendasarkan diri pada prinsip universalisasi Kant atau mengusahakan the greater happiness for the greatest numbers.


Ada tugas yang lebih besar dan progresif dari etika. Etika harus mampu membatasi keserakahan manusia atas sesama dan alam sekitarnya.

Levinas adalah filosof pertama yang memperlihatkan bahwa keharusan mutlak untuk bersikap baik merupakan evidensi intuitif tak terbantah yang selalu sudah disadari secara langsung, yaitu dalam setiap pertemuan dengan sesama (Magnis-Suseno, Pijar Filsafat). Sesama dan alam bukanlah obyek eksploitasi atau sumber keuntungan sesaat.


Daniel Adipranata Sekjen Perkantas, Dosen Agama Kristen, Aktivis Lingkar Muda Indonesia

Moralitas Harapan


Moralitas Harapan
Jumat, 2 Januari 2009 | 00:27 WIB
Oleh Yonky Karman
Suasana muram menyelimuti tahun 2009. Masalah ekonomi menggayuti pikiran banyak orang. Alam juga tidak bersahabat, seperti membalas gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan.
Menurut laporan badan pemerintah Geoscience Australia (26/12/08), Indonesia, Filipina, dan China menanggung risiko terbesar dalam bencana alam berskala besar yang bisa menewaskan hingga 1 juta orang sekaligus. Toh, tahun keprihatinan tetap dirayakan. Orang tidak lelah berharap.
Masa kini bukan terminal masa lalu. Di depan masih terbentang kemungkinan buruk dan baik. Hidup adalah sebuah petualangan memasuki terra incognita dunia kemungkinan. Itulah daya tarik masa depan yang sekaligus menggelisahkan. Orang tergoda menguasai masa depan dengan ramalan dan prediksi. Namun, berharap tetap cara terbaik untuk merealisasikan masa depan yang lebih baik.
Merayakan masa kini
Ada risiko berharap yang bentuk ekstremnya adalah putus asa. Karena krisis ekonomi, ada orang miskin bunuh diri. Ada pula orang superkaya yang bunuh diri karena tertipu skema piramid. Maka, berharap menuntut keberanian moral.
Kaum eksistensialis menuduh harapan merampas kepenuhan masa kini. Kaum yang merayakan masa depan dituduh tidak serius dengan masa kini. Harapan kaum beragama tidak memberi solusi bagi problem kemiskinan, malah melanggengkan. Agama dituduh memberi harapan yang mengawang-awang. Utopia. Masa kini dibiarkan berlalu begitu saja.
Pascal melihat ketidakarifan manusia menyikapi masa kini yang tak sesuai harapan (Pen- sées, No 172). Masa lalu dikenang, seolah-olah terlalu cepat berlalu dan dapat dihentikan. Atau, masa depan diantisipasi, seolah-olah datang terlalu lambat dan dapat dipercepat.
Mereka yang merayakan masa kini tidak mau disandera kenangan dan juga tidak mau jadi pemimpi. Cawan masa kini ditenggak habis. Eksistensi dikosongkan dari harapan. Realisme ditentukan fakta masa kini. Namun, masa kini yang dikosongkan dari harapan disukai status quo yang mau melenggang tanpa kritik.
Genealogi harapan
Dengan cara berpikir materialisme historis-dialektis, Ernst Bloch (1885-1977) memulihkan moralitas harapan. Pengaruh kausalitas ilmu pengetahuan alam berhasil membuat ilmu pengetahuan sosial, termasuk sejarah, menjadi sesuatu yang mekanistis. Namun, masa kini bukan bahan mati, melainkan kenyataan yang terbuka untuk kemungkinan baru (Das Prinzip Hoffnung, I-III, 1954-1959).
Maka, Bloch tidak melihat perubahan sejarah sebagai peralihan dari sebab kepada akibat, tetapi dari kemungkinan kepada kenyataan. Bukan keniscayaan kausalitas yang menjadi bagian dari proses sejarah, tetapi kemungkinan obyektif dan keputusan subyektif. Harapan membuat masa depan menjadi kemungkinan obyektif. Harapan membuat orang berupaya menemukan jalan untuk merealisasikan kemungkinan baru.
Jürgen Moltmann (1926- ) menarik wacana sekuler pengharapan itu ke dalam ranah teologi (Theologie der Hoffnung, 51.965). Sebagai sumber pengharapan (Rm. 15:13), Tuhan tidak hanya transendental dan imanen, tetapi juga Tuhan masa depan. Masa depan termasuk sifat kodrati-Nya. Sesuai dengan janji-Nya, Tuhan akan membuat segala sesuatu menjadi baru.
Orang beriman bukan pemimpi. Imannya bersauh tunggal pada sumber pengharapan. Harapan bukan melulu soal kiamat dan dunia akhirat, melainkan juga masa depan dunia yang lebih damai dan adil sebagaimana kehendak Sang Pencipta. Menaruh harap kepada Tuhan berarti turut aktif memperbarui kehidupan di sini dan kini.
Agama memberi perspektif yang memungkinkan harapan menjadi kenyataan. Agama seharusnya membuat orang bertanggung jawab atas masa depan. Tahun baru tak berarti apa-apa tanpa perubahan sikap dan perilaku.
Pada tahun pemilu ini, ruang publik dipenuhi spanduk dan poster dari politisi yang menebar janji. Jangan sampai rakyat dikecewakan seperti oleh pemerintah yang berjanji menjamin pasokan elpiji terjaga, terbukti gagal memenuhi janjinya.
Semoga tahun baru yang mulai kita tapaki ini bukan tahun janji. Dan, semoga kita semua selamat dari krisis.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta