Moralitas Harapan
Jumat, 2 Januari 2009 | 00:27 WIB
Oleh Yonky Karman
Suasana muram menyelimuti tahun 2009. Masalah ekonomi menggayuti pikiran banyak orang. Alam juga tidak bersahabat, seperti membalas gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan.
Menurut laporan badan pemerintah Geoscience Australia (26/12/08), Indonesia , Filipina, dan China menanggung risiko terbesar dalam bencana alam berskala besar yang bisa menewaskan hingga 1 juta orang sekaligus. Toh, tahun keprihatinan tetap dirayakan. Orang tidak lelah berharap.

Merayakan masa kini
Ada risiko berharap yang bentuk ekstremnya adalah putus asa. Karena krisis ekonomi, ada orang miskin bunuh diri. Ada pula orang superkaya yang bunuh diri karena tertipu skema piramid. Maka, berharap menuntut keberanian moral.
Kaum eksistensialis menuduh harapan merampas kepenuhan masa kini. Kaum yang merayakan masa depan dituduh tidak serius dengan masa kini. Harapan kaum beragama tidak memberi solusi bagi problem kemiskinan, malah melanggengkan. Agama dituduh memberi harapan yang mengawang-awang. Utopia. Masa kini dibiarkan berlalu begitu saja.
Pascal melihat ketidakarifan manusia menyikapi masa kini yang tak sesuai harapan (Pen- sées, No 172). Masa lalu dikenang, seolah-olah terlalu cepat berlalu dan dapat dihentikan. Atau, masa depan diantisipasi, seolah-olah datang terlalu lambat dan dapat dipercepat.
Mereka yang merayakan masa kini tidak mau disandera kenangan dan juga tidak mau jadi pemimpi. Cawan masa kini ditenggak habis. Eksistensi dikosongkan dari harapan. Realisme ditentukan fakta masa kini. Namun, masa kini yang dikosongkan dari harapan disukai status quo yang mau melenggang tanpa kritik.
Genealogi harapan
Dengan cara berpikir materialisme historis-dialektis, Ernst Bloch (1885-1977) memulihkan moralitas harapan. Pengaruh kausalitas ilmu pengetahuan alam berhasil membuat ilmu pengetahuan sosial, termasuk sejarah, menjadi sesuatu yang mekanistis. Namun, masa kini bukan bahan mati, melainkan kenyataan yang terbuka untuk kemungkinan baru (Das Prinzip Hoffnung, I-III, 1954-1959).
Maka, Bloch tidak melihat perubahan sejarah sebagai peralihan dari sebab kepada akibat, tetapi dari kemungkinan kepada kenyataan. Bukan keniscayaan kausalitas yang menjadi bagian dari proses sejarah, tetapi kemungkinan obyektif dan keputusan subyektif. Harapan membuat masa depan menjadi kemungkinan obyektif. Harapan membuat orang berupaya menemukan jalan untuk merealisasikan kemungkinan baru.
Jürgen Moltmann (1926- ) menarik wacana sekuler pengharapan itu ke dalam ranah teologi (Theologie der Hoffnung, 51.965). Sebagai sumber pengharapan (Rm. 15:13), Tuhan tidak hanya transendental dan imanen, tetapi juga Tuhan masa depan. Masa depan termasuk sifat kodrati-Nya. Sesuai dengan janji-Nya, Tuhan akan membuat segala sesuatu menjadi baru.
Orang beriman bukan pemimpi. Imannya bersauh tunggal pada sumber pengharapan. Harapan bukan melulu soal kiamat dan dunia akhirat, melainkan juga masa depan dunia yang lebih damai dan adil sebagaimana kehendak Sang Pencipta. Menaruh harap kepada Tuhan berarti turut aktif memperbarui kehidupan di sini dan kini.
Agama memberi perspektif yang memungkinkan harapan menjadi kenyataan. Agama seharusnya membuat orang bertanggung jawab atas masa depan. Tahun baru tak berarti apa-apa tanpa perubahan sikap dan perilaku.
Pada tahun pemilu ini, ruang publik dipenuhi spanduk dan poster dari politisi yang menebar janji. Jangan sampai rakyat dikecewakan seperti oleh pemerintah yang berjanji menjamin pasokan elpiji terjaga, terbukti gagal memenuhi janjinya.
Semoga tahun baru yang mulai kita tapaki ini bukan tahun janji. Dan, semoga kita semua selamat dari krisis.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar