Dalam kurun serba uang dan kedudukan seperti sekarang, ada pertanyaan yang mendesak diajukan. Di manakah benteng terakhir asketisme intelektual kita?
Ketika para intelektual merayap keluar dari ruang-ruang akademik dan mengabdi pada uang dan kedudukan, di manakah semangat artes liberal yang diabdikan pada kebaruan dan wawasan? Saat kepentingan intelektual sebangun dengan kepentingan pemodal dan politikus, di manakah integritas akademik bercokol?
Surplus
Satu hal yang patut menjadi kebanggaan kita, republik ini tak pernah kekurangan intelektual. Dalam satu tahun saja, ribuan master dan doktor dihasilkan. Sebagian melalui jalur universitas, sebagian lain melalui jalur partikelir. Berbagai lembaga donor asing berlomba membiayai para calon intelektual republik.
Masalahnya, di manakah para intelektual mengabdi setelahnya. Universitas terbatas, sementara pasokan intelektual muda terus bertambah. Belum lagi birokrasi perekrutan yang formalistik dan konservatisme berdosis tinggi di universitas. Kementerian pun demikian. Doktor-doktor baru pulang untuk mendapati pekerjaan administrasi belaka. Tak ada laboratorium canggih untuk mereka mengembangkan ilmu.
Yang tinggal adalah lembaga- lembaga penelitian partikelir yang tersebar di pelosok republik. Sebagian didanai pemodal dan sebagian lain politikus. Lembaga- lembaga ini menarik. Sebab selain gaji yang memadai, para intelektual juga mendapat prestise tersendiri. Mengapa demikian? Sebab lembaga-lembaga penelitian adalah tangki pemikir (think- tank) yang mendekatkan intelektual pada yang kuasa.
Intelektualitas dan kekuasaan
Ribuan tahun lalu Plato mengingatkan, intelektualitas sebangun dengan kekuasaan. Sebab, intelektualitas adalah kebijakan tertinggi yang akan mengatur nafsu-nafsu rendah. Namun apa jadinya saat intelektualitas menyatu
Alibi para intelektual tukang saat ini mungkin masuk akal. Kami bergabung untuk memberi warna humanis pada uang dan kedudukan. Berkat kami, kini uang dan kedudukan menjadi santun dan berperikemanusiaan. Naif dan mudah dibatalkan. Apa yang kita saksikan kini adalah intelektual yang memberi justifikasi ilmiah pada kejahatan yang dilakukan pemodal. Saksi-saksi ahli adalah intelektual bermuka tebal. Mereka rela mengorbankan integritas keilmuan demi ketebalan kantong belaka.
Saya tiba-tiba terkenang filsuf Perancis, Michel Foucault. Dia mengingatkan, jangan terlalu naif memandang pengetahuan. Alih- alih berhadapan, pengetahuan dewasa ini berkelindan dengan kekuasaan. Pengetahuan adalah kekuasaan. Putusan pengadilan pun memihak saat sang intelektual berfatwa, ”itu adalah kejadian alam bukan kelalaian!”. Artinya, pengetahuan bukan muatan kepala orang per orang. Itu sudah menjadi institusi yang mendikte perilaku, perasaan, dan kesadaran semua orang.
Universitas
Universitas adalah universum ilmu-ilmu, sebuah artes liberal yang membaktikan diri pada kreasi dan transfer pengetahuan.
Sekelompok peneliti IPB yang meneliti adanya bakteri pada susu kaleng tahu persis darma mereka. Mereka tidak menghamba pabrik susu atau Departemen Kesehatan. Mereka menghamba pada kebenaran dan integritas akademik. Mereka tahu, apa yang mereka temukan harus dibagikan untuk kepentingan publik, juga saat mereka menjadi bulan-bulanan kekuasaan.
Universitas bukan pemasok tukang, tetapi pengetahuan. Seorang sahabat mengatakan, pengetahuan bukan komoditas. Pengetahuan bertambah saat dibagikan. Pengetahuan berkembang lewat persentuhan. Saat pengetahuan dijual demi uang dan kedudukan, watak pengetahuan semacam itu pupus. Pengetahuan tak ubahnya barang dagangan di toko kelontong.
Watak nontransaksi dari pengetahuan harus dirawat universitas sebagai semesta ilmu-ilmu.
Universitas adalah benteng terakhir asketisme intelektual. Saat tangki-tangki pemikir bernoda uang dan kedudukan bertumbuhan di sana sini, universitas harus menumbuhkan tangki-tangki pemikir yang mengabdi kemaslahatan bersama, bukan pribadi atau golongan. Infiltrasi kepentingan harus dibersihkan dari tiap pojok akademik universitas.
Untuk itu, universitas harus membuka pintu lebar-lebar bagi intelektual independen, mereka yang beraspirasi pada integritas ilmu pengetahuan dan kemaslahatan bersama. Sebab, merekalah para penjaga benteng sebenarnya. Namun, sekali lagi, intelektual yang tidak mudah dibeli justru mahal harganya. Karena itu, segalanya harus dimulai dari elitisme. Para intelektual independen ditampung dalam aneka kelompok peneliti khusus. Tugas mereka ada tiga: meneliti, mengajar, dan mengabdi pada kemaslahatan bersama. Tak lebih.
Kecendekiawanan adalah sebuah panggilan, sebuah laku suci untuk menapak di tanah tak bertuan. Membuka rahasia semesta dan membocorkannya secara sederhana demi kemaslahatan bersama. Karena itu, bagi mereka yang berpisah jalan hanya ada satu pesan. Kembalilah ke jalan yang benar, jalan kecendekiawanan, jalan artes liberal. Universitas, benteng kita bersama.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI; Pendapat Pribadi
Sumber: Kompas, Rabu, 17 September 2008 | 00:25 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar