Kompas, 19 Juni
2012
Konstitusi
seharusnya menjadi seperti wajah Janus yang melihat ke belakang untuk
mempertahankan mimpi-mimpi dan gagasan-gagasan, tetapi juga melihat ke depan
untuk mengubah masa depan.
UUD
1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi
karena pada dasarnya konstitusi dirumuskan untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat.
Salah
satu tujuan pembentukan pemerintahan negara Indonesia adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum. Oleh karena itu, berdasarkan konstitusi, negara Indonesia
adalah negara kesejahteraan. Pemerintah diberi wewenang oleh konstitusi untuk
melakukan tindakan demi terwujudnya kesejahteraan bangsa.
Dalam
negara kesejahteraan, negara tidak membiarkan perekonomian berjalan tanpa
kendali. Negara diberi mandat untuk melakukan intervensi proaktif (Pasal 33).
Negara
tidak perlu menunggu dan hanya reaktif jika ada tanda perkembangan ekonomi
didikte pasar yang mengabaikan kepentingan umum. Negara harus bertindak jika
ada kecenderungan pemusatan kesempatan dan kekayaan pada segelintir pihak.
Intervensi
negara terkait kesejahteraan bangsa lebih dipertegas dalam Pasal 34. Tugas
negara tidak sebatas memberikan bantuan tunai kepada yang miskin, tetapi juga
memberikan perlindungan kepada semua rakyat agar terhindar dari jerat
kemiskinan.
Negara
mendapatkan mandat untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat, memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan, serta menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan
pelayanan umum yang layak.
Negara
menjamin hak asasi manusia untuk sejahtera (Pasal 28). Rakyat berhak
mendapatkan pendidikan agar mampu mengembangkan potensi diri. Setiap warga
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja. Sejalan dengan itu, negara menghormati dan melindungi hak
dan harta benda pribadi serta memfasilitasi warga untuk hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, serta mendapat lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
Antara cita-cita dan realitas
Negara
kesejahteraan bukan proyek sekali bangun. Antara cita-cita konstitusi dan
realitas masa kini dibutuhkan jembatan yang dibangun dari hasil sederetan
tuntutan, desakan, dan tekanan gradual serta kemudian menanamnya dalam
instrumen kebijakan pemerintah.
Sebagai
contoh, dalam 20 tahun terakhir, pendapatan per kapita rakyat Indonesia tumbuh
lebih dari empat kali lipat. Namun, apakah ini berarti kesejahteraan umum telah
tercapai? Jika dilihat dari data kemiskinan, terlihat adanya stagnasi.
Persentase penduduk miskin sekarang nyaris tak berubah, relatif terhadap
kondisi awal dekade 1990-an. Jeritan kemiskinan terdengar di mana-mana.
Menagih
terbentuknya negara kesejahteraan hanya dengan bersenjatakan konstitusi tidak
akan menggerakkan pemerintah. Bukan karena tuntutan dan konstitusi salah atau
tidak baik, melainkan karena dua alasan berikut.
Pertama,
dalam realpolitik, tak ada sesuatu yang terjadi hanya karena kemauan politik.
Kemauan politik adalah nama bagi langkah perubahan yang terpaksa dilakukan
karena sederetan desakan atau tekanan.
Watak
legislator dan penguasa yang haus pencitraan akan selalu menghasilkan produk
kebijakan publik yang sifatnya jangka pendek, populis, dan substandar dari
konstitusi.
Kedua,
tata negara modern tidak hanya didikte oleh konstitusi. Liberalisme juga
menyuntikkan kriteria baru ke jantung tata negara, yaitu kebenaran menurut
mekanisme ekonomi pasar. Dengan kata lain, dalam tata negara dewasa ini, sahnya
tuntutan atas nama konstitusi masih menghadapi pengadilan fiskal.
Dalam
konteks dinamika demokrasi di Indonesia, permasalahan bertambah dengan
rendahnya kualitas wakil kita di parlemen dan watak korup para penguasa.
Tuntutan dan desakan untuk mengatasi persoalan sosial yang berujung pada peningkatan
kesejahteraan umum sering membentur tembok tebal ketidaktahuan atau
ketidakpedulian.
Kesejahteraan
umum sering belum menjadi tolok ukur performa pemerintahan. Globalisasi
menyebabkan pemerintah lebih senang mengukur keberhasilannya dan meletakkan
kepuasannya dengan peningkatan peringkat global. Ini berbahaya karena
seolah-olah pemerintah bertanggung jawab pada peringkat global, bukan kepada
rakyat.
Menakar peluang
Negara
kesejahteraan merupakan tahapan penting dalam penciptaan masyarakat yang egaliter
dan kohesif karena kesenjangan vertikal dan horizontal berkurang.
Belajar
dari praktik bernegara di kawasan Skandinavia, pembentukan negara kesejahteraan
butuh proses pendidikan budaya yang panjang.
Sejak
tingkat pendidikan dasar, anak-anak di sana telah diajar masalah kesetaraan dan
cita-cita negara kesejahteraan. Hal ini menyadarkan kita bahwa pembentukan
negara kesejahteraan bukan hanya soal undang-undang, DPR, atau pemerintah,
melainkan juga penanaman visi bernegara dan pembentukan budaya pendukung
melalui jalur pendidikan.
Pendidikan
kewarganegaraan bukan menghafal, melainkan memaknai peristiwa demi menemukan
dan menghidupi kembali budaya luhur Indonesia.
Masyarakat
harus bertumbuh semakin cerdas serta sadar akan hak dan kewajibannya. Semua ini
akan menjadi minyak pelumas bagi terwujudnya masyarakat sejahtera.
Negara
kesejahteraan merupakan hasil evolusi dari relasi politik demokrasi antara
pemerintah dan rakyat.
Keberadaan
konstitusi yang berjiwa kesejahteraan rakyat tidak otomatis menciptakan negara
kesejahteraan. Jalan panjang menuju negara kesejahteraan memerlukan stamina dan
arah yang jelas.
Gerakan
rakyat perlu diarahkan pertama-tama pada usaha berkelanjutan untuk menyuarakan
tuntutan dan mencari solusi berbagai penderitaan sosial yang konkret, seperti
luasnya masalah kemiskinan, agraria, pengangguran, ketenagakerjaan, dan
perumahan.
Kemudian,
semua masalah itu didefinisikan dalam bingkai proses demokrasi dan solusinya
ditanam dalam kinerja tata negara.
Kalau
itu terjadi, cita-cita akan menggelinding menjadi realitas. Kesejahteraan
bersama (bonum publicum) dan bukan malapetaka bersama (malum publicum). Wujud
yang dicita-citakan Proklamasi.
Daniel Adipranata
(Direktur
Program Pelatihan Center for Policy
Analysis (CePA) Institut Leimena, aktifis Lingkar Muda Indonesia)