Kamis, 21 Februari 2013

Pendidikan untuk Rakyat (Kompas, 12 Oktober 2012)




Pengantar Redaksi
Menandai peringatan Hari Kemerdekaan RI, Desk Opini ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada 15 Mei 2012 menyelenggarakan diskusi panel seri II/2012 di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Mengambil tema ”Konstitusi dan Negara Kesejahteraan: Pendidikan yang Memerdekakan”, diskusi menampilkan pembicara Jalaluddin Rakhmat (Yayasan Muthahari), Elin Driana (Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka), dan H Soedijarto (Universitas Negeri Jakarta), dipandu oleh Daniel Adipranata. Hasil diskusi yang dirangkum oleh Chris Panggabean dan Daniel Adipranata dari LMI serta wartawan ”Kompas” Kenedi Nurhan, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.




Pendidikan harus memerdekakan dan membebaskan rakyat dari belenggu kebodohan. Pendidikan nasional bukan untuk kepentingan politik, golongan, atau agama, melainkan untuk membangun bangsa.

Masyarakat dunia sesudah Perang Dunia II dilandasi peradaban, yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana, berciri modern, rasional, berdasarkan kemajuan ilmu, teknologi, dan menekankan hak-hak manusia. Namun, menurut Djojonegoro, pada tahun 1940, rakyat Indonesia yang mengenyam pendidikan dasar sangat sedikit, bahkan mahasiswa hanya 157 orang (Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, 1996).

Akhirnya, para pendiri Republik yang menjadi cerdas karena pendidikan sekolah menetapkan tujuan kemerdekaan sebagai mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Mereka yang menganut moto ”membangun bangsa, membangun sekolah” itu menetapkan kewajiban pemerintah sebagai ”mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional” (Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945).

Mencerdaskan rakyat

Sering ”mencerdaskan kehidupan bangsa” dimaknai sebagai memperluas kesempatan memperoleh pendidikan apa pun mutunya. Saat ini, memang kesempatan memperoleh pendidikan tingkat SD sudah berada di atas 96 persen, tingkat SMP hampir 70 persen serta perguruan tinggi di atas 10 persen. Namun, kehidupan bangsa yang cerdas sesungguhnya belum terwujud. Lembaga pendidikan kita masih dengan gedung sekolah tanpa laboratorium, tanpa buku, tanpa lapangan olahraga, dengan guru yang kurang terjamin kesejahteraannya.

Hakikat mencerdaskan kehidupan bangsa adalah gerakan transformasi budaya dari tradisional dan feodalistik menjadi modern, rasional, demokratis, dan berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Semangat ”ada hari ada nasi” harus berubah menjadi rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Perlu transformasi budaya bagi perubahan sikap hidup: dari menerima nasib menjadi manusia yang memiliki jati diri dalam menghadapi tantangan. Untuk itu, sekolah harus menjadi pusat pembudayaan warga negara yang bermoral, beretos kerja, berdisiplin, produktif, demokratis, dan bertanggung jawab.

Persoalan besar yang sedang kita hadapi sekarang adalah hilangnya roh pendidikan nasional. Dengan sadar kita meninggalkan tujuan pendidikan seperti yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara, pendiri Perguruan Tamansiswa, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran di Sekolah. Di situ, siswa dilihat sebagai makhluk sosial.

Tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan insan mandiri yang tidak bergantung pada orang lain, tetapi juga tidak menjadi individualis, insan yang dapat mengatur diri sendiri dalam rangka hidup bersama. Idealnya, pendidikan bersifat membebaskan dan memberdayakan.

Pendidikan terpisah dari rakyat

Rakyat sebagai pemilik negeri semakin susah mendapatkan pendidikan bermutu. Pendidikan kita semakin menciptakan segregasi sosial (pengotak-kotakan masyarakat) berdasarkan kemampuan ekonomi dan agama. Sekolah negeri yang seharusnya sekolah kebangsaan semakin terpenjara oleh berbagai kepentingan non-pendidikan.

WS Rendra mengungkapkan kegelisahannya tentang pendidikan yang semakin terpisah dari kenyataan hidup rakyat. Apa gunanya pendidikan bila hanya membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Apa gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di Ibu Kota, kikuk pulang ke daerahnya? (Sajak Seonggok Jagung, 1975)

Tak kalah memprihatinkannya, praktik pungutan untuk mengikuti pendidikan wajib belajar masih berlangsung, meski tersurat dalam konstitusi ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pemerintah pun secara sadar tidak melaksanakan ketentuan Pasal 31 Ayat 2, tetapi hanya membantu melalui program yang dikenal dengan bantuan operasional sekolah (BOS).

Padahal, bersama ketentuan Ayat 4 yang mewajibkan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta ketentuan Ayat 5 yang mewajibkan pemerintah untuk memajukan iptek, tujuan akhirnya adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan dengan rakyat yang cerdas. Pendidikan untuk semua lapisan masyarakat.

Di samping dimensi pembiayaan, yang tidak kalah pentingnya adalah manajemen penyelenggaraan pendidikan. Di hampir semua negara kesatuan, seperti Perancis, Inggris, atau Jepang, penyelenggaraan pendidikan tidak sepenuhnya terdesentralisasi. Perancis adalah negara kesatuan yang tidak mengenal desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Inggris, sejak Perdana Menteri Margaret Thatcher mengurangi otonomi penyelenggaraan pendidikan, terutama yang terkait kurikulum, karena mutu pendidikan justru merosot akibat desentralisasi.

Sejak UU Pemerintahan Daerah tahun 1999 berlaku, otonomi penyelenggaraan pendidikan diberikan kepada pemerintah tingkat kabupaten. Dunia pendidikan pun tercemari kepentingan politik sesaat. Bahkan, ada cerita nyata, karena sang bupati tidak suka dengan kepala SMA di suatu kota, kepala sekolah itu dipindahkan menjadi guru TK di daerah terpencil.

Rakyat bertindak

Apa yang salah dengan pendidikan kita? Mengapa setelah hampir 70 tahun merdeka, kualitas pendidikan kita belum maju, dan bahkan tertinggal dari negara-negara di sekitar kita? Para pendiri Republik mungkin menangis melihat sebagian besar rakyat Indonesia yang belum cerdas.

Visi mulia pendidikan dalam konstitusi seperti kata-kata kosong makna, hanya menjadi bumbu retorika politik para penguasa menjelang pemilu. Visi pendidikan diperdebatkan dan menjadi bahan diskusi, tetapi tidak mengubah dan menghidupi apa pun. Kebijakan sistem pendidikan, kurikulum nasional, dan peraturan perundang-undangan berubah-ubah tanpa arah karena selalu tersandera oleh berbagai kepentingan non-pendidikan. Dan, akhirnya rakyat tetap menjadi obyek pendidikan bukan subyek.

Memang menagih janji pendidikan untuk rakyat bersenjatakan konstitusi tidaklah cukup. Kita tidak bisa hanya berpangku tangan dan menantikan kemauan politik pemerintah untuk memajukan pendidikan.

Rakyat terdidik perlu merapatkan barisan dan mengorganisasi diri demi menuntut pendidikan untuk rakyat. Orangtua dan guru menjadi garda depan memperjuangkan visi mulia pendidikan dan menolak campur tangan kepentingan non-pendidikan. 

Organisasi guru yang independen dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek penguasa perlu ditumbuhkembangkan dan diperkuat. Komunitas-komunitas pendidikan harus terus bersuara tanpa kenal lelah, mendesak dan menanamkan berbagai kebijakan pendidikan untuk rakyat dalam sistem demokrasi dan ketatanegaraan saat ini.



(Daniel Adipranata)



Kamis, 21 Juni 2012

Konstitusi dan Peluang Negara Kesejahteraan (Daniel Adipranata)


Kompas, 19 Juni 2012

Konstitusi seharusnya menjadi seperti wajah Janus yang melihat ke belakang untuk mempertahankan mimpi-mimpi dan gagasan-gagasan, tetapi juga melihat ke depan untuk mengubah masa depan.

UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi karena pada dasarnya konstitusi dirumuskan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, berdasarkan konstitusi, negara Indonesia adalah negara kesejahteraan. Pemerintah diberi wewenang oleh konstitusi untuk melakukan tindakan demi terwujudnya kesejahteraan bangsa.

Dalam negara kesejahteraan, negara tidak membiarkan perekonomian berjalan tanpa kendali. Negara diberi mandat untuk melakukan intervensi proaktif (Pasal 33).

Negara tidak perlu menunggu dan hanya reaktif jika ada tanda perkembangan ekonomi didikte pasar yang mengabaikan kepentingan umum. Negara harus bertindak jika ada kecenderungan pemusatan kesempatan dan kekayaan pada segelintir pihak.

Intervensi negara terkait kesejahteraan bangsa lebih dipertegas dalam Pasal 34. Tugas negara tidak sebatas memberikan bantuan tunai kepada yang miskin, tetapi juga memberikan perlindungan kepada semua rakyat agar terhindar dari jerat kemiskinan.

Negara mendapatkan mandat untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, serta menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.

Negara menjamin hak asasi manusia untuk sejahtera (Pasal 28). Rakyat berhak mendapatkan pendidikan agar mampu mengembangkan potensi diri. Setiap warga berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sejalan dengan itu, negara menghormati dan melindungi hak dan harta benda pribadi serta memfasilitasi warga untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Antara cita-cita dan realitas

Negara kesejahteraan bukan proyek sekali bangun. Antara cita-cita konstitusi dan realitas masa kini dibutuhkan jembatan yang dibangun dari hasil sederetan tuntutan, desakan, dan tekanan gradual serta kemudian menanamnya dalam instrumen kebijakan pemerintah.

Sebagai contoh, dalam 20 tahun terakhir, pendapatan per kapita rakyat Indonesia tumbuh lebih dari empat kali lipat. Namun, apakah ini berarti kesejahteraan umum telah tercapai? Jika dilihat dari data kemiskinan, terlihat adanya stagnasi. Persentase penduduk miskin sekarang nyaris tak berubah, relatif terhadap kondisi awal dekade 1990-an. Jeritan kemiskinan terdengar di mana-mana.

Menagih terbentuknya negara kesejahteraan hanya dengan bersenjatakan konstitusi tidak akan menggerakkan pemerintah. Bukan karena tuntutan dan konstitusi salah atau tidak baik, melainkan karena dua alasan berikut.

Pertama, dalam realpolitik, tak ada sesuatu yang terjadi hanya karena kemauan politik. Kemauan politik adalah nama bagi langkah perubahan yang terpaksa dilakukan karena sederetan desakan atau tekanan.

Watak legislator dan penguasa yang haus pencitraan akan selalu menghasilkan produk kebijakan publik yang sifatnya jangka pendek, populis, dan substandar dari konstitusi.

Kedua, tata negara modern tidak hanya didikte oleh konstitusi. Liberalisme juga menyuntikkan kriteria baru ke jantung tata negara, yaitu kebenaran menurut mekanisme ekonomi pasar. Dengan kata lain, dalam tata negara dewasa ini, sahnya tuntutan atas nama konstitusi masih menghadapi pengadilan fiskal.

Dalam konteks dinamika demokrasi di Indonesia, permasalahan bertambah dengan rendahnya kualitas wakil kita di parlemen dan watak korup para penguasa. Tuntutan dan desakan untuk mengatasi persoalan sosial yang berujung pada peningkatan kesejahteraan umum sering membentur tembok tebal ketidaktahuan atau ketidakpedulian.

Kesejahteraan umum sering belum menjadi tolok ukur performa pemerintahan. Globalisasi menyebabkan pemerintah lebih senang mengukur keberhasilannya dan meletakkan kepuasannya dengan peningkatan peringkat global. Ini berbahaya karena seolah-olah pemerintah bertanggung jawab pada peringkat global, bukan kepada rakyat.

Menakar peluang

Negara kesejahteraan merupakan tahapan penting dalam penciptaan masyarakat yang egaliter dan kohesif karena kesenjangan vertikal dan horizontal berkurang.

Belajar dari praktik bernegara di kawasan Skandinavia, pembentukan negara kesejahteraan butuh proses pendidikan budaya yang panjang.

Sejak tingkat pendidikan dasar, anak-anak di sana telah diajar masalah kesetaraan dan cita-cita negara kesejahteraan. Hal ini menyadarkan kita bahwa pembentukan negara kesejahteraan bukan hanya soal undang-undang, DPR, atau pemerintah, melainkan juga penanaman visi bernegara dan pembentukan budaya pendukung melalui jalur pendidikan.

Pendidikan kewarganegaraan bukan menghafal, melainkan memaknai peristiwa demi menemukan dan menghidupi kembali budaya luhur Indonesia.

Masyarakat harus bertumbuh semakin cerdas serta sadar akan hak dan kewajibannya. Semua ini akan menjadi minyak pelumas bagi terwujudnya masyarakat sejahtera.

Negara kesejahteraan merupakan hasil evolusi dari relasi politik demokrasi antara pemerintah dan rakyat.

Keberadaan konstitusi yang berjiwa kesejahteraan rakyat tidak otomatis menciptakan negara kesejahteraan. Jalan panjang menuju negara kesejahteraan memerlukan stamina dan arah yang jelas.
Gerakan rakyat perlu diarahkan pertama-tama pada usaha berkelanjutan untuk menyuarakan tuntutan dan mencari solusi berbagai penderitaan sosial yang konkret, seperti luasnya masalah kemiskinan, agraria, pengangguran, ketenagakerjaan, dan perumahan.

Kemudian, semua masalah itu didefinisikan dalam bingkai proses demokrasi dan solusinya ditanam dalam kinerja tata negara.

Kalau itu terjadi, cita-cita akan menggelinding menjadi realitas. Kesejahteraan bersama (bonum publicum) dan bukan malapetaka bersama (malum publicum). Wujud yang dicita-citakan Proklamasi.

Daniel Adipranata
(Direktur Program Pelatihan Center for Policy Analysis (CePA) Institut Leimena, aktifis Lingkar Muda Indonesia)

Travel to Toraja (Daniel Adipranata - Februari 2012)

 
logo IL News versi email 2.jpg
TONGKONAN
Pendidikan Warga ke-27
Toraja, 24-25 Februari 2012
Gereja Toraja 3.jpg
Kantor Sinode Gereja Toraja, Tongkonan Sangngullele

Tongkonan adalah rumah adat Toraja. Namun bagi masyarakat Toraja, Tongkonan bukan sekedar rumah tinggal biasa. Tongkonan berasal dari kata ‘tongkon’ (bahasa Toraja) yang berarti ‘duduk bersama-sama’. Tongkonan adalah pusat persekutuan hidup atau pranata sosial budaya masyarakat Toraja. Sesuai dengan artinya Tongkonan berfungsi untuk tempat untuk memecahkan permasalahan bersama, dan menata Karapasan  (kedamaian, kebahagian) yang mengutamakan ketentraman, keaamanan. Hidup bersumber dari dan untuk Tongkonan bagi keluarga. Pengelolaan sumber ekonomi (air, pohon, padi, sayur tanah) diolah bersama untuk kepentingan bersama. Agama dan kehidupan sosial dipelihara dan dipraktekkan dalam Tongkonan.
Pada tanggal 24-25 Februari 2012, tim dari Institut Leimena (Matius Ho, Daniel Adipranata, dan Santhy Chamdra) mengadakan Pendidikan Warga dan Pelatihan Fasilitator Diskusi Warga di Gereja Toraja. Bertempat di Tamengtoe (pusat pelatihan sinode Gereja Toraja), acara selama 2 hari ini diikuti oleh sekitar 50 orang peserta, terdiri dari Pendeta, anggota DPRD, pengurus Partai Politik, dan para aktifis Pemuda Gereja Toraja. Acara dibuka dan diawali dengan kuliah pembuka oleh ketua Sinode GerejaToraja, Pdt. Musa Salusu, M.Th.  tentang Peranan Warga Gereja dalam Pembangunan Bangsa. Diakhir acara, peserta menyaksikan penandatanganan nota kerjasama antara Institut Leimena dengan Sinode Gereja Toraja.
Gereja Toraja 1.jpg
Sebagai daerah mayoritas Kristen, Tana Toraja mempunyai kesempatan yang sangat besar untuk menunjukkan keteladanan dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan memajukan masyarakat. Ini tercermin melalui diskusi, banyak peserta yang mengangkat pentingnya gereja tidak membuang peluang dengan terus menyuarakan suara kenabian di dunia politik. Gereja juga harus terlibat dalam mencetak kader muda dan mencerdaskan warganya melalui diskusi warga. Beberapa komitmen dari peserta tentang acara ini adalah sebagai berikut:
“… menggalang dan mengupayakan penyadaran warga tentang hak-haknya. Dengan mendorong pembentukan kelompok-kelompok Diskusi Warga.  ….. membentuk juga komunitas advokasi eksekutif dan legislative“ ( Pdt Luther Taruk , MTh. Ketua wilayah II, Gereja Toraja)
“ manfaat Pendidikan Warga adalah untuk memberdayakan warga (konstituen) untuk bisa menyampaikan aspirasinya dengan serta mengerti haknya sebagai warganegara” (Isak Bunga Allo, anggota DPRD  Toraja Utara)

Mapalus (Daniel Adipranata, Maret 2012)

 
logo IL News versi email 2.jpg
MAPALUS
28th Citizenship Education
Tomohon, 28th – 29th February 2012
PW 28 Tomohon 1.jpg
Mapalus is a form of cooperation for mutual benefit in Minahasa tribal culture. Mapalus is a social capital that is based on the local wisdom of the Minahasa community. Mapalus is a traditional form of mutual assistance which has a fundamental difference with other modern forms such as clubs or business associations.
The main purpose of Mapalus is to urge mankind and the community to promote the welfare of the individuals and groups within the community with full awareness and responsibility. Mapalus is the basic essence of life and activities of the Minahasa people who have a calling based on the fundamental sincerity of having a good conscience.
Mapalus as a working system has values such as reciprocity, participation, solidarity, responsibility, mutual cooperation, discipline, transparency, equality and mutual trust.
Mapalus forms the family, religion, unity and integrity. Form of Mapalus includes: Mapalus farmers, Mapalus fishermen, Mapalus money, Mapalus grief and martial assistance and Mapalus community groups.
At bumi Minahasa, on the 28th-29th February 2012, the team from Institut Leimena (Matius Ho, Daniel Adipranata and Santhy Chamdra) held the 28th Citizenship Education along with the Synod of the Evangelical Christian Church of Minahasa (GMIM). The event was held at the GMIM church “Immanuel”, Tomohon, North Sulawesi. The session lasted 2 days and was attended by about 50 people from Tomohon, consisting of the church minister, a few leaders of GMIM and GMIM youth activists.
The citizenship Education program was official opened by the vice chairman of the BPMS Cooperation Relations GMIM Synod, Rev. Roy Tamaweol. In his opening address, Rev. Roy stressed the importance of church members in taking an active role and being involved constructively in the building of the nation. The unique part of this citizenship education program was that the whole event was held in the context of worship. The event began with worship service and on the next day, at the end of the Citizenship Education, the service was closed. Rev. Decky Lolowang, Chairman of the Church Synod of Am (SAG) Suluttenggo, was given the opportunity to close this 28th Citizenship Education Program officially. 
PW 28 Tomohon 3.jpg
A few comments from the attendees:
“built a stronger sense of nationalism; Brought to light the roles and responsibility as a citizen, that cannot be separated from ministry and witness service” (Rev. Sophia Rau, Jemaat Syalom, Tomohon)
“Critiqued every product of the laws and government regulations especially for the provincial districts, and built room for citizenship discussion in the place where we serve” (Rev. Petra D.E.F. Rau, GMIM Tomohon)

Memimpin Kelompok Diskusi Warga - Daniel Adipranata

suara warga - email header 8.GIF
Edisi 003/2012
Memimpin Kelompok Diskusi Warga
SW 003 2012.jpg
Sikap dan ketrampilan saudara sebagai pemimpin adalah salah satu faktor penting dalam menentukan semangat dan suasana pertemuan. Sikap yang rileks namun penuh antusiasme, akan menyebar kepada setiap anggota kelompok sejak awal Diskusi Warga (DW) dimulai. Jadikan DW sebagai diskusi milik bersama dan bangun suasana menyenangkan
Persiapan
1.       Sedapat mungkin aturlah susunan duduk yang melingkar sehingga setiap orang dapat saling memandang dan mudah berbicara satu dengan yang lain.
2.      Bagikan bahan DW kepada setiap peserta
3.      Sejak awal, jelaskan bahwa pertemuan itu adalah untuk berdiskusi bukan ceramah atau debat kusir. Kemudian sampaikan aturan-aturan dasar DW:
a.                       Tujuan dan batasan materi  yang akan dipelajari.
b.                       Pentingnya menghargai pendapat dan peran setiap orang dalam diskusi.
c.                        Kesepakan bersama tentang lamanya diskusi dan siapa notulis DW.
4. Mulailah tepat waktu. Disamping membuang waktu, kebiasaan terlambat menimbulkan dampak psikologis yang buruk, seperti DW itu hanya main-main dan tidak penting.
Memulai Diskusi Warga
1.     Bukalah DW dengan doa; kemudian perkenalkan diri anda dan minta peserta berkenalan secara singkat. Catatlah nama-nama peserta.
2.    Dalam mengarahkan pertanyaan, sebutkan nama orang itu. Hal ini juga akan membantu yang lain mengingat nama rekan diskusi.
3.    Jika anggota kelompok masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh pembuat bahan DW, anda dapat mengkalimatkan ulang dengan kata-kata sendiri
4.    Kendalikan waktu. Setelah suatu pertanyaan terjawab dengan memuaskan, segeralah beralih ke pertanyaan berikutnya (jangan bertele-tele atau terjebak debat kusir). Pengulangan akan menimbulkan kebosanan.
5.    Secara berkala buatlah kesimpulan tentang apa yang telah kelompok capai dari bahan yang dipelajari. Ini akan menolong untuk memperoleh ide-ide berarti selanjutnya dan untuk menjaga alur pertanyaan. Tapi jangan berkhotbah.
6.    Pada akhir DW, berilah kesimpulan pendek (bisa dikaitkan kembali dengan tujuan topik)  dan tutup dengan doa. Beri kesempatan kepada peserta untuk meresponi dan memohon agar Tuhan menolong untuk melakukan kesepakatan.
7.    Akhiri tepat pada waktunya. Yang masih ingin melanjutkan diskusi secara informal boleh tinggal namun yang lain boleh pulang.
Tips Praktis
1.    Hindari untuk menjawab pertanyaan saudara sendiri. Suatu kelompok akan menjadi pasif jika pemimpin terlalu banyak berbicara. Tugas pemimpin adalah memimpin diskusi dengan memberi kesempatan kepada orang  untuk berpendapat.
2.   Jangan kuatir dengan keheningan. Peserta perlu waktu untuk berpikir tentang pertanyaan dan menyusun jawaban mereka. Tetapi cobalah untuk membedakan antara diam karena sedang berpikir dengan diam karena pertanyaan tidak jelas.
3.   Eksplorasi topik dan jangan puas dengan satu jawaban. Minta juga jawaban peserta yang lain. Tanyalah “Apakah ada jawaban lain?” atau “Apakah ada yang mau menambahkan?”. Beri kesempatan kepada beberapa orang untuk berbicara.
4.  Berilah dukungan yang positif! Orang akan memberikan kontribusi jika merasa jawabannya dihargai. Berikan perhatian penuh kepada siapapun yang sedang berbicara. Responi jawaban mereka dengan mengatakan “Suatu pengamatan yang baik” atau “point yang sangat bagus”. Berilah penghargaan kepada orang yang pemalu atau anggota yang ragu atau takut jawabannya salah.
5.   Terimalah semua jawaban. Jangan sekali-kali menolak jawaban. Jika jawaban itu jelas salah, tanyakan, ”Alasan apa  yang membuat Saudara berpikir demikian?” atau “Bagaimana pendapat yang lain?”
6.  Jangan takut pada perdebatan. Hal ini menghangatkan diskusi, namun demikian perlu diperhatikan kemungkinan adanya debat kusir atau timbulnya perkataan yang dapat menyakiti orang lain. Ingatkan kembali akan peraturan dasar DW.

Daniel Adipranata
Center for Policy Analysis
Institut Leimena

Diskusi Warga

suara warga - email header 8.GIF
Edisi 001/2012
Diskusi Warga: Langkah Kecil untuk Perubahan Besar
SW 001 2012.jpg
Mungkinkah sekelompok warga yang hanya rakyat biasa membawa perubahan besar dalam keberlangsungan suatu negara?  Suatu bentuk pertemuan kelompok kecil yang disebut Diskusi Warga ditawarkan sebagai salah satu bentuk partisipasi warga untuk membawa perubahan di Indonesia.
Oleh : Budi H. Setiamarga, Ph.D.
Apa itu Diskusi Warga
Perubahan besar dapat dimulai oleh sekelompok kecil orang yang tekun mempelajari dan menyikapi masalah bersama yang mereka hadapi.  Besarnya masalah yang dihadapi bangsa ini seringkali memaksa kita memikirkan solusi besar, sehingga kita merasa tidak berdaya. Sebetulnya banyak perubahan besar yang dapat terjadi apabila kita mulai dengan langkah-langkah sederhana. Diskusi Warga adalah sebuah bentuk pertemuan antar warga yang dilakukan di dalam kelompok-kelompok kecil untuk bersama-sama belajar menjadi warganegara bertanggungjawab.  Melalui Diskusi Warga, sense of community dapat terbangun sehingga warga akan menjadi lebih cerdas, terdidik dan kritis dalam menanggapi permasalahan yang ada. Warga terbiasa untuk memahami dengan jelas (tidak hanya sekedar ikut-ikutan saja) dan terlibat dalam permasalahan sosial sekitarnya.
Mengapa Diskusi Warga diperlukan
Banyak orang berpikir bahwa seseorang bisa membawa suatu perubahan besar hanya jika seseorang berada dalam jabatan-jabatan kunci, misalnya di pemerintahan.  Oleh sebab itu, orang berusaha untuk meraih jabatan-jabatan tersebut bila ingin membawa perubahan.  Dilain pihak, bagi mayoritas warganegara, ada rasa apatis dan tidak berdaya karena mereka merasa hanya wong cilik saja yang jauh dari kekuasaan.  Jadi paradigmanya adalah bahwa perubahan hanya bisa terjadi secara top-down atau dari atas ke bawah.  Apakah ini selalu benar?
Setelah amandemen UUD 1945, Negara Indonesia telah berubah dari negara totaliter menjadi negara demokratis.  Perubahan itu terlihat nyata dari pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang sebelum amandemen berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.  Setelah amandemen, pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”  Dulu, pada waktu rakyat memberikan suaranya pada pemilu, rakyat dianggap sudah menyerahkan kedaulatannya ke tangan MPR dan selanjutnya MPR-lah yang mengatur semuanya.  Sekarang, situasinya berbeda. Kedaulatan rakyat harus dilaksanakan sesuai dengan UUD.  Dengan demikian, dalam Pemilu, setelah rakyat menyatakan pilihannya, mereka yang sudah terpilih harus melaksanakan mandat yang telah diberikan kepada mereka  dalam koridor UUD 1945.  Inilah yang disebut sebagai demokrasi konstitusional. 
Seorang yang dipilih rakyat tidak boleh mengambil keputusan semaunya sendiri, tetapi dia harus berusaha menyelaraskan segala keputusan yang dibuatnya dengan UUD.  Oleh sebab itu, peran warga sebagai rakyat yang berdaulat menjadi sangatlah penting untuk ikut serta mengawasi apakah mandat yang telah diberikan tersebut digunakan sesuai dengan UUD.  Supaya warga dapat ikut serta mengawasi, maka warga harus diberdayakan dengan pemahaman-pemahaman, baik tentang suatu hal tertentu maupun tentang UUD 1945.  Diskusi Warga adalah sarana warga untuk belajar hak dan kewajibannya sebagai Warga-negara  yang bertanggung jawab.  Melalui Diskusi Warga, diharapkan makin banyak warga negara yang  bersedia untuk ikut serta memikirkan keberlangsungan NKRI.  Dengan demikian, warga sebagai rakyat yang memegang kedaulatan tidaklah pasif.  Partisipasi warga nantinya dapat juga diwujudkan dalam bentuk advokasi kebijakan publik, baik dalam lingkup lokal maupun dalam lingkup yang lebih luas.  Melalui Diskusi Warga ini, tidaklah mustahil akan timbul calon-calon pemimpin-pemimpin yang bertanggungjawab dengan bekal pemahaman dan pengetahuan yang baik, dapat berpikir secara independen dan siap memimpin dalam keluarga, gereja, masyarakat dan negara.
Bagaimana Memulai Diskusi Warga
Mulailah dengan membentuk suatu kelompok kecil dengan mengajak 10-15 orang teman atau saudara untuk berkumpul di suatu tempat, misalnya rumah anda, pada suatu waktu tertentu, misalnya Jumat sore jam 19.00, untuk kurun waktu 1 sampai 2 jam.
Pilihlah satu bahan diskusi dari situs Institut Leimena (www.leimena.org)!  Bahan yang terdiri dari bahan bacaan dan beberapa pertanyaan tersebut dapat di fotokopi terlebih dahulu sesuai keperluan.
Diskusi Warga dapat dimulai dengan ramah tamah dan perkenalan antar peserta dalam suasana yang santai yang dilanjutkan dengan acara diskusi.  Hasil diskusi yang berupa pokok-pokok pikiran dapat dicatat dan diulang kembali diakhir diskusi sebagai kesimpulan. Untuk meningkatkan efektivitas diskusi, setiap peserta diskusi dapat didorong untuk menceritakan hasil pertemuan ini melalui berbagai sarana misalnya email, sms, facebook dan percakapan, ke teman, keluarga, atau tetangga mereka, supaya lebih banyak orang lagi yang mendapat manfaat dari Diskusi Warga ini.
Budi H. Setiamarga, Ph.D. adalah Direktur dari Center for Policy Analysis (CePA) di Institut Leimena