
Menyambut HUT Ke-63 Republik Indonesia, tanggal 12 Agustus lalu Redaksi Opini Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) menyelenggarakan diskusi panel bertajuk ”Republik Kaum Muda: Hak Asasi sebagai Parameter Imperatif Kemerdekaan”. Tampil enam pembicara: Butet Manurung (guru di sekolah anak rimba), Agung Putri (Elsam), Asfinawati (LBH Jakarta), Chalid Muhammad (Walhi), Nia Dinata (sutradara film), dan Revrisond Baswir (ekonom UGM), dipandu oleh Sri Palupi. Berikut dua laporan hasil diskusi, masing-masing dimuat di halaman ini dan halaman 47.
Ketegangan antara pemerintah dan rakyat dalam perjuangan akan dan pembelaan hak asasi manusia maupun hak kelompok masyarakat, terutama sejak pertengahan masa Soeharto yang menamakan diri Orde Baru, barangkali dipandang lebih sebagai bagian yang inheren dari perjuangan demokratisasi (konstitusional) untuk menggantikan sistem pemerintahan Soeharto yang otoriter.
Oleh Salomo Simanungkalit
Semakin jelas terlihat, ikhtiar tersebut sepantar dengan perjuangan merebut kemerdekaan pada tingkap individu dan tingkap komunitas dari fakta bahwa hingga pada masa Reformasi ini pun, upaya memenuhi hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya di negeri ini masih berlangsung dengan intensitas yang kurang lebih sama belaka.
Hak individu dan hak komunitas masih terus hendak direbut bahkan hingga Proklamasi Kemerdekaan berusia 63 tahun, katakanlah melalui gugatan baik terhadap developmentalisme maupun neoliberalisme pasar. Tafsir waktu manakah yang dipakai untuk memaknai ”dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” pada teks Proklamasi Kemerdekaan itu untuk membereskan hak individu dan hak komunitas dari pemerintahan ke pemerintahan: Soekarno ke Soeharto ke Habibie ke Gus Dur ke Megawati bahkan hingga ke SBY ini?
Merdeka secara formal
Pertanyaan ini menyiratkan bahwa persoalan kemerdekaan kita tersisa hanya dalam level individu dan level komunitas saja. Dalam aras negara-bangsa (”bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa”), kita sudah merdeka persis per 17 Agustus 1945 ketika atas nama bangsa
Penelusuran sejarah mengatakan: secara formal, ya; secara substansial, tidak. Kehendak kita ”diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Kenyataannya, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kita sebagai negara-bangsa justru mulai menyerah kepada pihak asing hanya empat tahun setelah Proklamasi dan itu berlanjut sampai sekarang di bawah payung globalisasi. Inilah indikasi yang telak mempertanyakan kemerdekaan di aras negara-bangsa. Dimulai dengan Belanda si penjajah, dilanjutkan dengan asing-asing lainnya baik atas nama negara sendiri-sendiri maupun atas nama persekutuan negara dalam bentuk lembaga-lembaga antarbangsa.
Dari Konferensi Meja Bundar (KMB) kita hanya diberi tahu telah mendapat pengakuan kedaulatan. Namun, buku rekaman sidang KMB mencatat bahwa kita diminta menerima warisan utang Hindia Belanda. Dalam Bagian D mengenai penyelesaian utang-piutang, khususnya Pasal 25 dan Pasal 26, pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengakui bertanggung jawab membayar bunga maupun angsuran modal dari utang tersebut yang dimulai dari tahun 1935. Rupanya pemerintah Hindia Belanda waktu menjajah Indonesia punya utang dalam negeri 3,3 miliar gulden dan utang luar negeri 3 miliar gulden sejak tahun 1935.
Dalam KMB, Indonesia diminta menanggung seluruh utang itu kalau mau berdaulat. Setelah negosiasi akhirnya dicapai kesepakatan, Indonesia hanya bersedia menanggung utang dalam negeri yang 3,3 miliar gulden plus utang luar negeri 1 miliar gulden. Jadi, Indonesia yang belum berutang itu harus menerima dikte sudah punya utang 4,3 miliar gulden demi pengakuan akan kedaulatannya.
Masih ada catatan lain dari KMB. Pada Pasal 14 dan Pasal 15 termaktub bahwa RIS dan Nederland masing-masing akan mengikhtiarkan tata keuangan dan sistem moneter yang sehat. RIS akan mengindahkan aturan-aturan Dana Moneter Internasional (IMF) meski belum menjadi anggota lembaga itu. Maka, kalau mau bicara ihwal ketergantungan Indonesia pada IMF, jangan mulai per 1966 atau 1998, tetapi mulailah sejak 1949!
Pengakuan berutang itu diperkuat dengan ratifikasi Parlemen melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1951 tentang Pengesahan dan Pengakuan Hutang terhadap Kerajaan Belanda. Yang menarik, UU itu ditandatangani bukan oleh Soekarno selaku presiden, melainkan oleh Hatta yang wakil presiden. Mengapa? Penelusuran sejarah kemudian memperlihatkan bahwa dalam voting di kabinet, memang Hatta menang. Satu-satunya yang menolak putusan KMB itu adalah PSI.
Bahwa ada persoalan antarfaksi dalam menerima intervensi asing itu baru terlihat dari dibatalkannya pengesahan dan pengakuan utang Hindia Belanda itu oleh kabinet di bawah Burhanuddin Harahap pada tahun 1956. Pembatalan itu kemudian berlanjut dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya (Inggris), kecuali perusahaan Amerika Serikat, yang beroperasi di Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting datang beruntun setelah itu: PRRI-Permesta, Dekrit Presiden, penggabungan Irian Barat dengan Indonesia, konfrontasi dengan Malaysia, bahkan 30 September 1965. Adakah keterlibatan asing di
Antimodal asing
Penelusuran sejarah tentu akan menjawab pertanyaan itu. Namun, mari melihat beberapa fakta yang berhasil disisir sampai pada diskusi Lingkar Muda
Tentu banyak sudut pandang sejarah yang mencoba menjelaskan maupun mengaburkan apa sebetulnya yang terjadi di balik Peristiwa 30 September 1965 itu. Apa pun model penafsirannya, satu hal jelas bahwa peristiwa itu merupakan upaya sistematis pihak asing kembali meletakkan
Dari sudut perundang-undangan kita bisa melihat apa yang terjadi sebelum 30 September 1965. Ada UU yang mengakhiri modal asing yang sedang diproses serta sudah siap dan berhasil ditandatangani sebelum Peristiwa, tetapi kemudian ada UU lain mengenai keluar dari IMF yang baru ditandatangani setelah Peristiwa tapi tetap ditandatangani oleh Soekarno. Setelah November 1966, cerita berbalik. Keluar berturut-turut UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU Nomor 7 Tahun 1967 mengakui kembali utang Hindia Belanda, UU Nomor 8 Tahun 1967 mendaftarkan Indonesia menjadi anggota Asian Development Bank, dan UU Nomor 9 Tahun 1967 mendaftarkan Indonesia kembali menjadi anggota IMF dan World Bank.
Tahun 1951 Hatta menandatangani UU pengesahan dan pengakuan utang Hindia Belanda, tahun 1967—sebelum dimakzulkan oleh MPRS—Soekarno yang menandatangani UU sejenis. Demikian pula UU yang disebut tadi yang keluar pada tahun 1967. Pertanyaannya: apakah Soekarno yang plin-plan atau Soekarno di bawah tekanan asing? Jawabannya mesti dikaitkan dengan fakta bahwa setelah itu, Soekarno tersingkir dari pusaran ”kekuasaan”.
Sejarah pun berulang
Mengapa tidak terlebih dulu Soekarno disingkirkan, kemudian keluar beberapa UU bertarikh 1967 tadi dan ditandatangani Soeharto?
Rupanya pola yang sama terjadi pula kepada Soeharto. Sebelum dijatuhkan pada Mei 1998, Soeharto harus terlebih dulu menandatangani apa yang terkenal dengan nama letter of intents dalam pengawasan Michel Camdessus, bos IMF.
Setelah itu, pada masa Reformasi ini, sudahkah kita merdeka sebagai negara-bangsa? Dalam situs www.usaid.gov tersua kalimat ini: USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000.
Jadi, yang menyusun rancangan UU Migas adalah USAID. Seorang peserta diskusi Lingkar Muda Indonesia menceletuk, ”Jangan-jangan tanggapan Dewan pun sudah dibuatkan sekalian oleh lembaga itu.” Untunglah, pasal-pasal dalam UU Migas yang melanggar UUD kita sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sumber Kompas, Kamis, 28 Agustus 2008 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar