
Sejak jaman Yunani kuno hingga kini, keadilan selalu menjadi masalah manusia. Apa itu adil? Bagaimana mencapai keadilan? Apakah sama rata sama rasa adalah resep keadilan yang bisa dipertanggungjawabkan?
Mengutip pernyataan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Andang Bachtiar, mud vulcano di Sidoarjo dipicu oleh kesalahan teknis di Sumur Banjar Panji 1 (Kompas 6/9). Maka bencana lumpur itu tak bisa disetarakan sebagai hanya bencana alam biasa yang diterima sebagai kehendak ilahi seperti bencana di Aceh dan Yogya. Bencana itu dipicu kesalahan manusia, yang menyebabkan kerugian yang sangat besar kepada penduduk Sidoarjo. Penduduk menjadi korban dari kecerobohan perusahaan Lapindo. Karena itu, keadilan harus ditegakkan bagi korban. Dan untuk itu, prosedur mencapai keadilan perlu diperhatikan (John Rawls, rev., A Theory of Justice, 1999).
Keadilan sebagai fairness
Dalam pemahaman Rawls, isi keadilan tidak a priori. Keadilan adalah hasil suatu pemufakatan (konsensus). Karena itu, Rawls mengembangkan suatu prosedur keadilan. Inti pertanyaan bukan “apa itu adil” tetapi “bagaimana mencari keadilan dalam kesepakatan yang fair.”
Ada dua pokok gagasan tentang keadilan sebagai fairness. Pertama, ‘setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang” . Prinsip ini didasarkan kesamaan manusia sebagai person bermoral. Atau dapat juga disebut sebagai prinsip kebebasan setiap pribadi.
Prinsip ini bertentangan dengan konsep utilitarianisme (adil adalah manfaat sebesar mungkin untuk sebanyak mungkin orang) yang banyak diikuti orang. Menurut Rawls, utilitarianisme gagal menjamin keadilan sosial karena lebih mendahulukan asas manfaat daripada asas hak dan juga berpotensi mengorbankan mereka yang paling lemah.
Namun, prinsip kebebasan dan kesamaan ini bukanlah kesamaan yang kaku. Kesamaan dalam pandangan Rawls hanya berlaku prima facie, jika tidak kondisi atau prioritas lain yang ‘mengalahkan’nya. Oleh karena itu muncul prinsip keadilan kedua, yang lebih didasari oleh perbedaan
Prinsip kedua mengatakan bahwa “ ketidaksamaan sosial dan ekonomis harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) secara rasional diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang”. Prinsip ini dapat disebut ‘the priority of justice over efficiency and welfare”, Prinsip kedua ini menempatkan perbedaan dalam konteks komunitas bersama.
Melalui dua prinsip tersebut, Rawls menegaskan bahwa kekuatan dari keadilan dalam arti fairness justru terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada kebebasan.
Kembali Ke Posisi Asali
Ada suatu syarat penting untuk mencapai proses itu, yaitu setiap pribadi yang terlibat perlu kembali ke posisi asali (original position). Artinya, setiap orang atau kelompok masyarakat yang terlibat dalam ‘pembicaraan kontrak’ untuk mencapai keadilan, haruslah menempatkan diri dalam kemanusiaannya yang lepas dari segala atribut dan kepentingannya. Rawls sangat percaya bahwa manusia memiliki kemampuan ‘a sense of justice and a sense of good’ .
Kemampuan moral ini, ketika ditempatkan dalam konteks bermufakat maka akan menguatkan kedudukan setiap individu sebagai person moral yang rasional, bebas dan sama.
Menerapkan teori
Ada beberapa prinsip dasar teori keadilan John Rawls yang dapat kita terapkan dalam kasus korban lumpur Sidoarjo.
Keadilan sebagai suatu konsensus. Keadilan tidak dapat diterapkan secara sepihak, menurut pemahaman sepihak tentang apa itu adil. Keengganan untuk berdialog merupakan musuh dari keadilan.
Memanusiawikan Korban. Mereka bukanlah sekedar alat untuk mencapai tujuan. Korban lumpur Sidoarjo adalah makhluk bermoral yang rasional, bebas dan memiliki rasa keadilan yang adalah pemberian Allah. Rawls memiliki optimisme ketika semua pihak bersedia untuk ‘membutakan diri’ dari kepentingan diri dan kelompok, disitulah akan menjadi titik awal tercapainya konsensus yang adil.
Menghargai persamaan dan perbedaan. Konsep sama rata sama rasa tidak akan menjamin keadilan, dan justru menimbulkan ketidakadilan. Pemberian uang kontrak atau kompensasi dan relokasi korban, harus memperhitungkan perbedaan.
Ketidakraguan dalam penanganan. Bencana ini memiliki dampak sosial dan ekonomi yang sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan ketegasan sikap pemerintah untuk melindungi rakyat yang terkorbankan dan juga tegas dalam meminta pertanggungjawaban PT Lapindo.
Terakhir, harapan kita bersama di negeri ini “biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir’ (Nabi Amos).
Daniel Adipranata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar